*Berkaca pada kasus larangan ekspor nikel
NEWSROOM.ID, Jakarta – Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri memaparkan kebobrokan pemerintah yang membungkus dengan rapi strategi mensejahterakan rakyat asing dengan kebijakan hilirisasi.
Sebelumnya, Faisal membuat kajian dengan judul “Sengkarut Tata Kelola Nikel Atas Nama Hilirisasi”. Pemerintah mengartikan hilirisasi hanya untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi lalu di ekspor ke negara lain untuk diolah lebih lanjut.
“Biji nickel jadi Nickel Pig Iron (NPI) atau ferronickel lalu diekspor sudah hilirisasi, pokoknya dihilirkan walaupun cuman 20 persen, belum hilir banget. Namanya hilir itu kan paling akhir, jadi yang paling elok adalah industrialisasi yang memperkokoh struktur industri di Indonesia yang akan memperkokoh perekonomian,” kata Faisal pada Senin, 26 September 2022.
Menurutnya, hilirisasi tidak ada gunanya kalau prosesnya dilakukan oleh pihak luar, seperti yang terjadi pada nickel saat ini. Tujuan dari industrialisasi untuk menciptakan nilai tambang yang semakin tinggi, kalau bijih nickel nilainya satu kalau NPI harganya tiga itukan ada nilai tambah dua, nilai tambah itu untuk nasional.
“Tapi kalau ini nilai satu ke tiga nilai tambahnya dua, 90 persen nilai tambahnya dinikmati pihak luar itu namanya bukan pembangunan, namanya ekploitasi oleh asing apa bedanya sama jaman penjajah,” jelas Faisal.
Apabila timah bernasib sama dengan nickel yang sudah dilarang ekspornya pada tahun 2020, menurut Faisal, tidak menutup kemungkinan Bangka Belitung yang komoditas utamanya timah untuk meminta kemerdekaan dari Indonesia, karena tidak mendapatkan kesejaterahan dari potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki.
“Timah lebih parah, karena industri yang akan menyerap bijih timah tidak ada di Indonesia cuman ada PT Timah dan segelintirnya yang hanya mampu menyerap 5 persen, 95 persenya gk bisa dijual. Jangan-jangan itulah momentum Bangka Belitung meminta merdeka dari Indonesia,” kata Faisal.
Pemerintah tidak dapat menyamaratakan komoditas mineral, menurut Faisal masing-masing komoditas memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dirinya pernah diminta pemerintah pada masa Presiden SBY untuk melakukan kajian hilirisasi komoditas Crude Palm Oil (CPO), Bauksit, dan timah, dalam kajian tersebut memaparkan kelebihan dan kelemahan yang harus diwaspadai tergantung dari komoditi yang berbeda-beda.
“Kita kecewa di era Pak Jokowi ini kebijakannya instan, tidak ada kajiannya, kebijakan publik yang bagus itu yang bisa diuji. Prinsip kebijakan publiknya itu dampak nettonya harus positif buat ekonomi baru dia bisa pertanggungjawabkan,” jelasnya.
Berkaca pada larangan ekspor nickel yang dilakukan pemerintah pada tahun 2020, Indonesia berhasil memperkaya pengusaha China dengan melakukan ekspor ilegal yang tercatat China mengimpor nickel dari Indonesia sebanyak 3,4 juta ton pada tahun 2020, meskipun dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) ekspor nickel nihil.
“Yang menyelundup itu bukan rakyat, rakyat mah tidak bisa menyelundup paling cuman satu pikul, yang menyelundup jutaan ton itu yang besar-besar seperti pada nickel. Menurut Bea Cukai China, China mengimpor biji nickel dari Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 3,4 juta ton. Kita tidak boleh suudzon, tapi itu hukum alam kalau dilarang maka akan diseludup,” kata Faisal.
Apabila pemerintah tetap akan melakukan larangan ekspor timah pada tahun 2023 dan menyebabkan harga timah dunia menjadi meningkat drastis, maka misi pemerintah untuk mensejahterakan rakyat asing berhasil.
“Pemerintah sudah melanggar Undang – Undang Dasar, karena mensejahterakan warga asing, menyengsarakan warganya sendiri. Nanti kalau dilarang ekspor harga timah kan akan naik, yang senang itu Malaysia, Rusia, China dan lainnya,” jelasnya. (LBY)