NewsRoom.id – Ada nuansa lain saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2024 dibandingkan perselisihan Pilpres sebelumnya.
Dalam sengketa Pilpres ini, Mahkamah Konstitusi kebanjiran permohonan sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan), hingga 47 dokumen per 19 April 2024.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Jumlah ini bisa jadi menjadi yang terbesar sepanjang sejarah pemilu di Tanah Air.
Namun, menurut Kepala Biro Hukum dan Tata Usaha MK Fajar Laksono, anggota sidang sengketa Pilpres 2024 yang akan diperiksa hanya 14 orang.
Sebanyak 14 dokumen amicus curiae telah diserahkan kepada majelis hakim konstitusi yang menangani perkara sengketa pemilu presiden. Namun Fajar Laksono belum bisa memastikan apakah amicus curiae akan dipertimbangkan atau tidak.
Fajar Laksono menjelaskan, 14 dokumen dimaksud merupakan amicus curiae yang diterima MK hingga 16 April 2024 pukul 16.00 WIB.
Batas waktu ini merupakan keputusan majelis hakim. Yang menyampaikan adalah:
1. Pawai Kebenaran untuk Demokrasi,
2. Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), 3. TOP Gun,
4. Aliansi Akademisi dan Masyarakat Sipil,
5. Pusat Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM),
6. Pandji R. Hadinoto,
7. Busyro Muqoddas, Saut Situmorang, Feri Amsari, Usman Hamid, Abraham Samad, dll,
8. Organisasi Mahasiswa UGM-Universitas Padjadjaran-Universitas Diponegoro-Universitas Airlangga,
9. Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto,
10. Forum Advokasi Pemuda Indonesia (FAMI), 11. Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN),
12. Aliansi Penegakan Demokrasi Indonesia (APDI),
13. Amicus Stefanus Hendriyanto,
dan 14. Komunitas Cinta Pemilu yang Jujur dan Adil (KCP-JURDIL) Sejak saat itu, menurut Fajar Laksono, seluruh berkas termasuk kesimpulan menjadi bahan dipelajari, dikaji, diperiksa dan dipertimbangkan oleh majelis hakim. Jika tidak ada batasan waktu, berpotensi mengganggu pembahasan keputusan yang telah diagendakan.
Apalagi, saat ini terdapat delapan hakim konstitusi yang sedang menjalani rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Sidang ini dilaksanakan secara tertutup untuk membahas dan memutuskan PHPU Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Keesokan harinya, 22 April 2024, putusan akan dibacakan oleh majelis hakim MK. Setidaknya membanjirnya dokumen amicus curiae akan mewarnai keputusan Mahkamah Konstitusi untuk mencapai kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
Seperti diketahui, bakal calon PHPU Presiden dan Wakil Presiden RI adalah pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (paslon nomor urut 1) dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md (paslon nomor urut 3).
Termohon adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, sedangkan pihak terkait adalah pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (paslon nomor urut 2).
Padahal, kata pakar pemilu Titi Anggraini, amicus curiae dalam PHPU merupakan fenomena baru meski sudah sering terjadi dalam persidangan hukum yang ditangani Mahkamah Konstitusi. Misalnya amicus curiae dalam pengujian UU Perkawinan dan amicus curiae dalam pengujian persyaratan usia bergulir di Mahkamah Konstitusi.
Meskipun amicus curiae bukan merupakan bagian dari alat bukti, namun keberadaannya dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Amicus curiae dapat memperkuat kepercayaan diri majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam memberikan argumentasi atau mempertimbangkan putusan.
Dipakai atau tidak sepenuhnya terserah hakim Mahkamah Konstitusi yang memutuskan. Kendati demikian, maraknya amicus curiae juga menjadi indikasi tingginya tingkat kekhawatiran masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu 2024.
Bahwa pemilu bukan sekadar pemungutan suara, melainkan serangkaian proses yang juga harus diawasi agar berjalan lancar, adil, dan demokratis sebagaimana dimaksud dalam konstitusi.
Dalam siaran langsung Polemik Trijaya: Menanti Putusan Mahkamah Konstitusi yang disaksikan secara daring dari Jakarta, Sabtu, Titi yang juga Dewan Pengawas Tulisem mengatakan, majelis hakim Mahkamah Konstitusi sebelum mengambil keputusan akan membangun argumentasi, rasionalitas, logika dan penalaran hukum yang akan menjadi kesimpulan. untuk keputusan ini. keputusan.
Dengan begitu, kata dia, bisa menganalisis putusan MK secara lebih proporsional. Hal ini terlepas dari tipologi putusan apakah akan dikabulkan, ditolak atau tidak diterima.
Kalaupun dikabulkan, yang membedakannya adalah apakah dikabulkan seluruhnya atau hanya sebagian saja.
Oleh karena itu, majelis hakim Mahkamah Konstitusi perlu memperhatikan nilai-nilai dan rasa keadilan dalam masyarakat. Pasalnya, hakim mengambil keputusan berdasarkan bukti dan keyakinannya.
Alat bukti berkontribusi pada bagaimana hakim menarik benang merah antara data, fakta, informasi, peristiwa, dan sebagainya. Hal ini tergantung apakah keputusan tersebut ditolak atau dikabulkan.
Sebaliknya, ada atau tidaknya ketentuan mengenai amicus curiae dalam putusan tersebut, maka pembentuk undang-undang perlu membuat pengaturan mengenai siapa yang berhak mengajukan permohonan teman pengadilan, kemudian jangka waktu pengajuan permohonan, dan segera.
Setelah menjadi partai terbesar sepanjang sejarah pemilu di Tanah Air, nampaknya masih ada pekerjaan rumah bagi anggota parlemen untuk memasukkan aturan yang lebih eksplisit mengenai amicus curiae.
Ekspresi-ekspresi ini juga perlu dibatasi. Sejauh ini, orang-orang mengacu pada definisi versi Wikipedia.
Amicus curiae adalah orang perseorangan atau organisasi yang bukan merupakan pihak dalam suatu perkara hukum, namun diperbolehkan membantu pengadilan dengan memberikan informasi, keahlian atau wawasan terkait dengan permasalahan dalam perkara tersebut.
Tak pelak, saat Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto melamar menjadi sahabat Istana menimbulkan polemik. Namun, semua tergantung majelis hakim MK.
Publik baru mengetahui apakah dokumen amicus curiae Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PDI-P masuk dalam putusan atau tidak setelah dibacakan oleh delapan hakim konstitusi pada 22 April 2024.
Selama ini dasar pengajuan amicus curiae adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal tersebut menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.
NewsRoom.id