Merupakan pelanggaran berat terhadap hukum internasional, Israel melancarkan serangan terhadap Kedutaan Besar Iran di Suriah. Dampak dari tindakan ini sangat besar, tidak hanya secara politis tetapi juga secara hukum. Serangan ini jelas bertentangan dengan norma kekebalan diplomatik yang sudah ada, sebuah prinsip yang telah menjadi landasan hukum internasional selama berabad-abad.
Dengan mengambil tindakan agresif ini, kepemimpinan Israel telah menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap standar hukum global. Namun, tindakan tersebut sering kali mempunyai konsekuensi timbal balik, dan Israel kini mungkin menghadapi dampak yang signifikan atas pelanggaran tersebut, yang berpotensi menjadi preseden yang dapat mengungkap praktik hukum internasional yang sudah lama ada. Faktanya, tidak lama kemudian, penggerebekan Ekuador terhadap kedutaan Meksiko untuk menangkap mantan Wakil Presiden tersebut menunjukkan dampak buruk dari preseden ini lebih cepat dari yang diperkirakan.
Apakah menargetkan kedutaan dan membunuh diplomat bisa dibenarkan?
Pada tanggal 1 April, pesawat tempur Israel melakukan serangan di Suriah, menargetkan sebuah bangunan di dalam kompleks Kedutaan Besar Iran. Empat pejabat Israel menceritakan Waktu New York bahwa gedung tersebut tidak mempunyai status diplomatik. Sebaliknya, pernyataan dan rekaman pejabat Iran dan Suriah menunjukkan sebaliknya. Selain kehancuran besar pada bangunan tersebut, serangan tersebut juga mengakibatkan kematian tujuh perwira tinggi, menurut Garda Revolusi Iran. Total korban tewas, seperti yang dilaporkan dalam laporan PBB, mencakup tiga belas orang – tujuh personel Iran dan enam warga negara Suriah.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
MEMBACA: Serangan udara Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus dikutuk
Insiden ini mungkin tampak seperti pelanggaran lain terhadap norma-norma internasional, namun ini merupakan pelanggaran signifikan terhadap Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961, yang menjamin agen dan tempat diplomatik tidak dapat diganggu gugat. Bahkan dalam kasus-kasus yang diduga terdapat aktivitas ilegal, seperti Lapangan St. James di London pada tahun 1984, di mana seorang petugas polisi Inggris ditembak dengan api yang berasal dari Biro Rakyat Libya di London, protokol hukum harus dipatuhi, dengan menghormati kesucian tempat tersebut. hubungan diplomatik. lokasi.
Meskipun ada kekhawatiran yang sah mengenai terorisme, tindakan terhadap situs diplomatik, seperti menargetkan kedutaan Iran, dipandang sebagai serangan terhadap negara tuan rumah, sehingga menjadi preseden berbahaya terhadap prinsip-prinsip hukum internasional. Konvensi ini juga mewajibkan negara-negara pengirim untuk menahan diri dari kegiatan ilegal di dalam gedung kedutaan, dan jalan hukum tersedia melalui hukum internasional jika terjadi pelanggaran.
Pembenaran Israel untuk menyerang kedutaan, dengan tuduhan melakukan kegiatan ilegal, tidak mengecualikan ketaatan diplomatik. Argumen yang menyatakan bahwa Konvensi Wina tidak berlaku bagi negara pihak ketiga seperti Israel tidak memahami bahwa perlindungan diplomatik tidak hanya mencakup perjanjian internasional, namun juga mencakup hukum kebiasaan internasional, yang diakui melalui praktik negara yang konsisten dan keyakinan terhadap kewajiban hukum ( opinio juris). Contohnya, seperti kompensasi Amerika Serikat atas pemboman kedutaan besar Tiongkok di Beograd pada tahun 1999, menggarisbawahi hukum adat ini, dan menekankan bahwa penerapan diplomasi Israel yang tidak dapat diganggu gugat memerlukan pengawasan yang cermat berdasarkan hukum internasional.
Apakah pembelaan diri merupakan pembenaran yang sah?
Terlepas dari status diplomatiknya, kedutaan besar Iran dianggap sebagai wilayah Iran berdasarkan hukum internasional. Oleh karena itu, menyerang kedutaan Iran sama saja dengan menyerang tanah Iran. Dalam hal ini, pembelaan diri bukanlah pembenaran yang sah. Namun, ini adalah contoh lain bagaimana argumen pembelaan diri menjadi pembenaran yang tepat untuk melakukan kesalahan, terutama untuk menipu mereka yang tidak terbiasa dengan hukum internasional. Secara sempit, Piagam PBB memperbolehkan pembelaan diri jika terjadi serangan bersenjata terhadap suatu negara, sampai Dewan Keamanan PBB mengambil tindakan. Tak hanya itu, anggota yang menegaskan penggunaan pertahanan diri harus melaporkan tindakan tersebut ke Dewan Keamanan PBB. Tak satu pun dari kondisi ini membenarkan tindakan Israel untuk membela diri.
Konsep lain yang mungkin digunakan Israel adalah pertahanan diri antisipatif. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Piagam PBB, hal ini diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional oleh banyak orang dan oleh karena itu, hal ini harus dijunjung dan dihormati. Namun konsep ini juga memiliki syarat yang ketat. Ia hanya mengizinkan pertahanan diri jika ada ancaman yang akan terjadi, dan semua cara pertahanan lainnya telah habis. Insiden saat ini gagal memenuhi kedua kondisi ini.
MEMBACA: Iran bersumpah akan membalas serangan Israel terhadap kedutaan besarnya di Suriah, meskipun AS bersikeras bahwa negaranya tidak terlibat
Apakah menyerang kedutaan legal?
Kedutaan Besar Iran lebih dari sekedar tempat diplomatik; itu adalah infrastruktur sipil. Berdasarkan hukum internasional, serangan terhadap entitas sipil dilarang. Namun, jika senjata tersebut berkontribusi terhadap aksi militer dan memberikan manfaat nyata jika dihancurkan, ditangkap atau dinetralkan, maka senjata tersebut diklasifikasikan sebagai sasaran militer.
Serangan Israel terhadap kedutaan Iran perlu dikaji secara sistematis. Pertama, jika kedutaan dianggap sebagai sasaran sipil, maka serangan ini jelas merupakan pelanggaran hukum internasional. Namun jika ada klaim bahwa gedung kedutaan itu digunakan untuk kepentingan militer sehingga merupakan tujuan militer, maka klaim tersebut tidak dapat diragukan. Oleh karena itu, jika terdapat ketidakpastian apakah tujuannya untuk sipil atau militer, maka gedung kedutaan harus dianggap sebagai tujuan sipil. Hubungan bermusuhan antara Iran dan Israel dan insiden di masa lalu tidak serta merta menunjukkan bahwa kedutaan tersebut merupakan tujuan militer dan, oleh karena itu, klaim Israel bahwa kedutaan tersebut adalah sasaran militer yang sah harus dipandang dengan skeptis.
Sekalipun kedutaan secara jelas ditetapkan sebagai sasaran militer, serangan terhadap sasaran militer harus dilakukan secara proporsional. Aturan proporsionalitas melarang serangan yang menyebabkan kerugian besar terhadap warga sipil dibandingkan dengan manfaat militer yang diharapkan, meskipun sasarannya adalah sasaran militer.
Jika terjadi korban sipil, sebagaimana tercantum dalam laporan PBB, jelas bahwa serangan tersebut tidak proporsional dan melanggar hukum, dan diperlukan penyelidikan lebih lanjut mengenai legalitas serangan tersebut berdasarkan hukum internasional.
Bagaimana dengan Suriah?
Penggunaan kekerasan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara dilarang keras, kecuali untuk membela diri. Dalam kasus serangan kedutaan Iran, Suriah dianggap sebagai negara ketiga, sehingga tidak ada argumen pembelaan diri yang kuat karena tidak ada serangan atau ancaman dari Suriah yang sedang berlangsung. Hal ini mempersulit upaya Israel untuk membenarkan legalitas serangannya di Suriah berdasarkan hukum internasional.
Pelanggaran konsensus hukum internasional
Serangan ini berdampak besar. Norma hukum internasional, yang didasarkan pada konsensus global pembelajaran sejarah mengenai penggunaan kekuatan berlebihan dibandingkan diplomasi, menekankan pentingnya undang-undang perlindungan diplomatik. Undang-undang ini, yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu negara, menandakan bahwa kekuasaan saja tidak dapat menopang negara, sehingga menggarisbawahi pentingnya peran hukum internasional. Pelanggaran tidak hanya melanggar undang-undang ini tetapi juga merusak konsensus yang terbentuk melalui perselisihan sejarah, yang tidak menghormati prinsip-prinsip yang mendasari pembuatan undang-undang tersebut.
Prinsip diplomasi yang tidak dapat diganggu gugat yang sudah ada sejak lama menjadi kunci untuk mendorong kerja sama dan komunikasi terbuka antar negara. Memastikan kekebalan diplomatik sangat penting untuk stabilitas hubungan internasional dan mencegah konflik. Menjunjung tinggi norma-norma ini sangat penting untuk diplomasi dan kerja sama global yang efektif. Oleh karena itu, pelanggaran yang dilakukan Israel baru-baru ini sangatlah signifikan dan memerlukan pertimbangan serius.
Apa yang terjadi terjadi
Serangan Israel terhadap Kedutaan Besar Iran di Suriah mewakili lebih dari sekedar pelanggaran hukum internasional; hal ini menyerang inti praktik diplomasi yang sudah mapan dan landasan kerja sama global, sehingga secara signifikan melemahkan struktur hukum internasional itu sendiri. Tindakan sembrono tersebut memerlukan kecaman segera dan tegas, mengingat potensinya mengganggu stabilitas prinsip-prinsip dasar diplomasi global. Yang terpenting, kebutuhan untuk mematuhi standar-standar hukum bersifat universal, bahkan bagi mereka yang percaya pada pengecualian-pengecualian tersebut. Oleh karena itu, sangat penting bagi komunitas internasional untuk memberi kesan kepada Tel Aviv mengenai dampak merugikan yang akan ditimbulkan oleh melemahnya prinsip-prinsip ini, tidak terkecuali bagi Israel sendiri.
MEMBACA: Israel meningkatkan keamanan di kedutaan besarnya di seluruh dunia
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan redaksi NewsRoom.id.
NewsRoom.id