NewsRoom.id – Dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Kamis 25 Juni 2015, Presiden Jokowi menjanjikan pertambangan rakyat di Bangka Belitung akan dilegalkan. “Produksinya harus tinggi, tapi penambangannya jangan dilakukan di hutan konversi,” imbuh Jokowi.
Janji Presiden kini terealisasi. Bukannya dilegalkan dan dibina, para penambang rakyat malah dikejar dan ditangkap.
Hasil pertambangan rakyat di IUP PT Timah kini menyebabkan mantan Direksi PT Timah periode 2015 – 2022 dan sejumlah pengusaha smelter dijebloskan ke dalam tahanan Kejaksaan.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Mereka didakwa membeli timah ilegal yang ditambang dari IUP PT Timah, lalu dilebur di smelter swasta, lalu dibeli lagi oleh PT Timah.
Meski prosesnya dituding korupsi, Kejagung belum merilis besaran kerugian dari praktik bisnis tersebut. Kejaksaan Agung menetapkan kerugian negara berdasarkan perhitungan kerusakan ekologis yang dilakukan pakar lingkungan hidup IPB, Bambang Hero Saharjo. Jumlahnya sangat fantastis. Rp 211 triliun. Penyidikan kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah di Indonesia.
Aktivis lingkungan hidup sekaligus Pembina Yayasan Rehabilitasi Alam Bangka Belitung, Elly Rebuin mempertanyakan cara yang dilakukan Bambang Hero Saharjo. Penambangan timah di Bangka dimulai pada tahun 1711.
“Kerusakan alam Babilonia sudah terjadi sejak peradaban timah berlangsung. “Bagaimana kerusakan alam ini bisa dibebankan pada kegiatan kerjasama tahun 2015 – 2022,” tanya Elly. Menurut dia, kerusakan tidak bisa dilihat hanya dalam jangka waktu tertentu karena aktivitas penambangan sudah berlangsung berabad-abad.
Kegiatan penambangan timah, menurut Wakil Ketua Bidang Lingkungan Hidup HKTI Babel, tidak boleh hanya dilihat dari aspek negatifnya saja. Namun manfaat ekonomi bagi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha juga harus dipertimbangkan.
Elly pun mempertanyakan siapa yang dituding Jaksa Agung sebagai pelaku pengrusakan. Jika ditujukan kepada penambang rakyat, maka umumnya mereka menambang di lahan milik sendiri, meski tidak memiliki IUP.
“Mereka menambang sebelum PT Timah dan smelternya berdiri,” jelasnya.
Lebih lanjut, Elly juga mempertanyakan uang jaminan reklamasi yang dibayarkan PT Timah dan smelter kepada negara, “kok tidak dipertimbangkan oleh Kejaksaan,” dalihnya.
Elly menilai penambang tidak bekerja dalam kondisi perdagangan yang jelas. Tapi itu berantakan.
Kerja sama dengan PT Timah pada akhir tahun 2018 – 2020, dimana hasil pertambangan rakyat dikumpulkan oleh PT Timah, dikompensasikan dan dilebur di smelter swasta, kemudian logam yang dihasilkan dikirim ke PT Timah, menurut Elly, merupakan skema yang paling tepat. .
Hasil kekacauan dikembalikan ke Tanah Air melalui PT Timah, penambang rakyat tetap bekerja dan perekonomian Babel tetap berjalan, jelas Elly.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambangan dan Pengolahan Pasir Mineral Indonesia (Atomindo) Rudi Syahwani mengatakan, kondisi yang terjadi di Bangka Belitung semakin mempersempit ruang gerak masyarakat untuk memperoleh kesejahteraan dari tanahnya sendiri.
Seperti diketahui, setiap kegiatan pertambangan harus mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) sesuai UU Minerba. Namun masyarakat kesulitan mendapatkan IUP ini karena rumitnya birokrasi.
“Akhirnya masyarakat menambang timah di tanahnya sendiri, itu dilarang secara hukum karena tidak punya IUP. Tapi orang bilang ini tanah saya, ada Sertifikat Hak Milik (SHM) resmi dari negara, jadi tidak apa-apa, dan ini sudah terjadi puluhan tahun,” kata Rudi, Rabu (17/3/2024).
Faktanya, PT Timah dan Smelter tidak bisa menerima produk pertambangan timah dari masyarakat karena dianggap ilegal dan melanggar hukum. Namun hal itu harus dilakukan karena banyak wilayah konsesi IUP PT Timah dan perusahaan swasta yang ternyata tidak mengandung timah. Sebaliknya, lahan masyarakat seperti perkebunan justru menghasilkan timah meski hanya di beberapa titik saja.
“Di sini akhirnya terjadi transaksi, masyarakat pragmatis, butuh uang, mereka menjual hasil tambang timahnya ke swasta karena dari segi harga bisa dua kali lipat dibandingkan kalau dijual ke PT Timah, untuk mencatatnya. laporan klaim dari IUP konsesi perusahaan swasta.
Nah ini masalahnya, perlu ada revisi peraturan yang memfasilitasinya. Kalau masyarakat dilarang menambang, itu di tanah mereka sendiri, dan kegiatan ini sudah ada sebelum PT Timah dan swasta ada di tempat mereka.
Aneh kalau ada yang dikorbankan, kata Rudi.
Gelombang PHK terjadi, kejahatan meningkat
Pemprov Bangka Belitung pun mengaku mengetahui adanya PHK dan pegawai tersebut
yang diberhentikan dari perusahaan smelter terutama melalui laporan lisan. Oleh karena itu, perlu diwaspadai dampak negatif lesunya industri timah di Babel.
“Dari sisi ketenagakerjaan pasti akan timbul permasalahan, apalagi jumlah penduduk yang tidak bekerja akan semakin meningkat dan timbul dampak lain,” kata Kepala Divisi Pengawasan Hubungan Industrial (HI) dan Jaminan Sosial (Jamsos) Babel. Disnaker, Agus Afandi.
Salah satu kekhawatiran dari banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan adalah meningkatnya angka kriminalitas. Ketika pendapatan sulit dicapai, potensi peningkatan kejahatan pun semakin tinggi.
“Untuk permasalahan ini tentu tidak hanya disnaker saja, namun seluruh pemangku kepentingan harus berperan. Kami hanya berharap upaya hukum memberikan sanksi dan kontrol terhadap usaha pertambangan timah di Babel, sebagai jalan bagi para pengusaha khususnya untuk menjalankan usahanya. dunia usaha, dengan mengikuti peraturan yang berlaku.
“Kami tidak mengharapkan hal-hal buruk terjadi, tentunya semua pihak bisa mengambil hikmah dari apa yang terjadi dan mengantisipasi hal-hal buruk,” pungkas Agus. (rls)
Terkait
Sumber Berita: Narsum
NewsRoom.id