NewsRoom.id -Munculnya amicus curiae atau sahabat pengadilan menjelang putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terkait perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), merupakan fenomena baru dalam penyelenggaraan hukum Indonesia.
Menurut Direktur Lembaga Penelitian Lanskap Politik Indonesia Andi Yusran, dalam mengambil keputusan, Mahkamah Konstitusi tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum, namun juga aspek sosiologis.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
“Ibarat suasana spiritual masyarakat yang mengharapkan keadilan ditegakkan dalam kasus sengketa pemilu ini,” ujarnya, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (19/4).
Analisis politik Universitas Nasional menilai banyaknya partai yang mengajukan diri sebagai amicus curiae merupakan bukti kemarahan masyarakat atas penyalahgunaan kekuasaan, demi memenangkan pasangan calon tertentu.
“Jadi, di tangan Mahkamah Konstitusi masa depan demokrasi dan bangsa ini menjadi taruhannya,” ujarnya.
Hingga Kamis (18/4), Mahkamah Konstitusi telah menerima 33 pengajuan amicus curiae terkait perselisihan Pilpres dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, tokoh budaya, seniman, advokat, hingga mahasiswa, baik secara institusi, kelompok, maupun perseorangan.
Amicus curiae atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah sahabat pengadilan, merupakan suatu praktik hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga di luar pihak yang berperkara untuk terlibat dalam peradilan.
Keterlibatan amicus curiae hanya sebatas memberikan pendapat yang nantinya akan dijadikan hakim sebagai salah satu pertimbangan dalam memutus perkara.
NewsRoom.id