NewsRoom.id – Jemaah masjid Aolia di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta merayakan Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah pada hari Jumat tanggal 5 April 2024. Penentuan hari raya Idul Fitri lebih cepat dibandingkan pemerintah atau organisasi keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang diperkirakan jatuh pada 10 April 2024.
Ratusan jemaah Aolia melaksanakan Salat Id di aula rumah Imam Jemaah Masjid Aolia, Kyai Haji Ibnu Hajar Pranolo yang akrab disapa Mbah Benu, di Padukuhan Panggang III, Kecamatan Giriharjo, Panggang, Kabupaten Gunungkidul pada pukul 06.00 WIB. . . Dalam video yang beredar, Mbak Benu mengaku menetapkan Idul Fitri pada 5 April 2024 setelah ia 'memanggil' Allah SWT.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Berikut sikap dua ormas Islam, PBNU dan PP Muhammadiyah, terhadap jemaah Aolia.
1. Ketua PBNU Bidang Agama Ahmad Fahrur Rozi: Itu mempermainkan agama
Ketua Pengurus Besar Agama Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Fahrur Rozi mengatakan aliran agama yang dianut jamaah Masjid Aolia harus dicegah dan tidak boleh terulang kembali.
“Dalih keteladanan mereka (yang mengaku) berbicara langsung kepada Allah SWT (subhanahu wa ta'ala) sungguh mengkhawatirkan, harus dicegah dan tidak boleh terulang kembali. Itu sama saja dengan mempermainkan nama agama (Islam), kata Gus Fahrur, sapaan akrab Fahrur Rozi, kepada Tempo, Sabtu, 6 April 2024.
Fahrur berharap seluruh umat Islam, khususnya para pemuka agama, beribadah sesuai ajaran agama Islam sesuai dengan tuntutan syariat yang berlandaskan ilmu pengetahuan dan pemikiran yang sehat. Jadi, kata dia, tidak boleh ada seorang pun yang mempermainkan ajaran Islam dengan mengaku telah berbicara langsung dengan Allah SWT.
“Seseorang tidak bisa sembarangan mengaku telah berkomunikasi dengan Gusti Allah. Pengakuan sewenang-wenang ini tidak sah dan tidak boleh dijadikan dasar pedoman agama. “Ini ajaran yang menyimpang,” kata Fahrur, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur di Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Ia menghimbau kepada seluruh umat Islam di Kecamatan Panggang untuk mempelajari agama dari para ulama yang kredibel dan mampu mempertanggungjawabkan ajarannya sesuai dengan metode penalaran hukum Islam yang valid dan diterima secara luas oleh umat Islam.
“Masyarakat tidak boleh mudah percaya pada siapapun yang mengaku mempunyai hubungan istimewa dengan Gusti Allah namun perbuatannya tanpa dasar ilmiah dan sesuai dengan ketentuan hukum Islam,” kata Fahrur.
Ketua Umum Ikatan Gus-Gus Indonesia (IGGI) ini menekankan kepada umat Islam Indonesia agar tidak mudah terkecoh dengan keanehan atau kesaktian individu yang mampu melahirkan hal-hal ajaib sekalipun. Seseorang yang sakti, kata dia, bukan berarti mempunyai keistimewaan istimewa di hadapan Allah SWT karena hal tersebut juga bisa dilakukan oleh dukun dan dukun.
“Perlu kita waspadai bahwa jin dan setan juga bisa mendatangi siapa saja dan mengaku sebagai Gusti Allah atau malaikat untuk menyesatkan manusia. Dalam ajaran Islam, baik buruknya seseorang hanya bisa diukur dengan ketentuan syariat.” sesuai dengan tuntunan Alquran, hadis, serta qiyas dan ijma' (kesepakatan) para ulama,” ujarnya.
2. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir: Kami toleran terhadap perbedaan
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menanggapi jemaah Masjid Aolia pimpinan Raden Ibnu Hajar Pranolo merayakan Idul Fitri pada Jumat, 5 April 2024.
“Ketika ada (kelompok) yang berbeda (keyakinan), kami toleran terhadap perbedaan tersebut,” kata Haedar di Yogyakarta, Sabtu, 6 April 2024.
Menurut Haedar, yang terpenting perbedaan tersebut tidak menyimpang dari pokok ajaran nilai agama. “Kalau terlalu jauh dari ketentuan pokok (aturan umum agama), maka dialog harus diajak,” ujarnya.
Haedar meminta seluruh masyarakat menghormati perbedaan, termasuk sesama umat Islam. Menurutnya, toleransi merupakan hal mendasar dalam kehidupan pluralistik di Indonesia yang harus dijaga.
“Indonesia adalah negara yang masyarakatnya komunal, namun di satu sisi tradisi dialog masih sangat kurang,” ujarnya.
“Tidak hanya di tingkat komunitas, tetapi juga di tingkat elite, tradisi dialog perlu dihidupkan kembali. Jika ada masalah, baik terkait agama atau masalah sosial lainnya, usahakan untuk mengutamakan dialog.”
Haedar juga meminta organisasi kemasyarakatan dan keagamaan untuk introspeksi diri, kemudian mengambil peran dalam membangun masyarakat. Tokoh masyarakat dan agama setempat dapat menjadi kunci dialog yang membawa kebaikan bagi semua.
“Kami berharap organisasi keagamaan dan kemasyarakatan bisa sadar diri, agar kita tidak kehilangan akar dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat,” ujarnya.
NewsRoom.id