NewsRoom.id – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengkritisi ahli yang dihadirkan kubu Prabowo-Gibran, Halilul Khairi yang menyinggung ungkapan dukungan pemerintah kepada sang calon dalam sesi pemaparan pernyataannya.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
“Ada dua hingga tiga kali ahli menyebut calon yang mendapat dukungan pemerintah. “Apa yang Anda maksud dengan potensi dukungan pemerintah dalam pernyataan ahli tersebut?” kata Saldi kepada Halilul dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden (PHPU) Presiden 2024 di Gedung I Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Kamis.
Halilul mengatakan, ungkapan calon yang didukung pemerintah merupakan contoh tuduhan yang dipermasalahkan dalam perselisihan Pilpres 2024. Diketahui, salah satu dalil kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud adalah soal tidak netralnya penjabat kepala daerah.
Maksud saya, mungkin dia mendukung calon yang jabatan pelaksananya dituduh atau harus mendukung calon yang diarahkan oleh pemerintah, misalnya Prof, kata Halilul.
“Jadi akan ada calon yang diarahkan oleh pemerintah, kan?” kata Saldi.
“Saya simulasi pak, kalau misalnya saya mendapat pesanan,” jawab Halilul.
Sali mengatakan, keterangan ahli harus jelas karena informasi terkait akan menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Nanti kita lihat berita acaranya, kata Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Sementara Halilul saat memberikan keterangannya sebagai ahli memang menyebut ungkapan calon yang didukung pemerintah.
“Kalau memang penjabat kepala daerah bisa diandalkan untuk menjadi mesin pemenang calon-calon tertentu, khususnya pemerintah, calon-calon yang didukung pemerintah, dalam hal ini tentu 02 yang sedang kita bahas,” ujarnya.
Halilul mengatakan, jika seorang penjabat kepala daerah diminta memenangkan pasangan calon tertentu, maka perolehan suara pasangan calon yang bersangkutan akan tinggi di daerah yang banyak penjabat kepala daerah, seperti di Provinsi Aceh. Namun, Prabowo-Gibran kalah di provinsi tersebut.
“Aceh punya 24 kepala daerah. 23 di antaranya berakting. 95 persen dari seluruh pejabat. Kalau digunakan untuk mobilisasi atau dalih menambah kepala daerah, akan lebih efektif meningkatkan suara pemerintah. Logikanya, Aceh menjadi Aceh dengan suara terbanyak karena merupakan pejabat provinsi tertinggi di Indonesia. Padahal 02 hanya 24 persen, ujarnya.
Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) lalu membandingkannya dengan Provinsi Bengkulu yang jumlah pejabatnya paling sedikit.
“Faktanya, kandidat yang didukung pemerintah memperoleh 70 persen suara. “Jadi kalau kita menggunakan keyakinan itu, empirisnya tidak terlihat,” kata Halilul.
Sementara itu, lanjutnya, perolehan suara Anies-Muhaimin dan Prabowo-Gibran bersaing ketat di DKI Jakarta yang merupakan wilayah yang dikelola Pj Gubernur.
“Semua pengendalian di Jakarta dilakukan oleh pihak berwenang. Sebenarnya calon 1 dan 2 mirip, nomor 2 menang, tapi selisihnya 3 ribu. Kalau efektif harusnya 100 persen, mendekati 80 persen, karena seluruh pejabat Pemprov DKI 100 persen di bawah kendali gubernur, ujarnya.
NewsRoom.id