NewsRoom.id – Politisi PDI Perjuangan (PDIP), Masinton Pasaribu menilai kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka kurang paham dengan isu amicus curiae atau sahabat Istana.
Hal ini menanggapi pernyataan Wakil Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Fahri Bachmid yang menyebut Megawati dan sejumlah tokoh memiliki amicus curiae sebagai bentuk intervensi peradilan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK).
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Masinton menjelaskan, Megawati merupakan Presiden ke-5 yang membentuk Mahkamah Konstitusi. Ia pun menganggap Fahri tidak paham.
“Saya kurang begitu paham dengan orang-orang, bagaimana ceritanya? Saya tidak mengerti. Bu Mega melahirkan MK, kata Masinton di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (19/4). /2024) malam.
“Beliau (Megawati) lebih dari sekedar sahabat Mahkamah Konstitusi, lebih dari sahabat lembaga peradilan.” Mega adalah sosok yang selalu konsisten menempuh jalur hukum formal,” imbuhnya.
Masinton kemudian bercerita tentang perjuangan Megawati melawan pemerintahan Orde Baru (Orba) Soeharto.
Menurutnya, dalam peristiwa Kudatuli yakni kerusuhan 27 Juli 1996, Megawati menempuh jalur hukum meski dikuasai Orde Baru.
Tapi dia (Megawati) percaya pada sistem hukum yang mampu memberikan sedikit keadilan meski aparatur peradilan kita dikendalikan oleh kekuasaan, kata Masinton.
Oleh karena itu, Masinton membantah pendapat amicus curiae yang disampaikan Megawati sebagai bentuk intervensi yudisial.
Jadi yang dilakukan Ibu Megawati bukanlah upaya intervensi, melainkan upaya Ibu Megawati untuk peduli terhadap konstitusi dan percaya pada mekanisme hukum kita, tambahnya.
Sebelumnya, Fahri menilai amicus curiae yang diajukan sejumlah tokoh perselisihan hasil pemilihan presiden (PHPU) 2024 merupakan bentuk intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebab, amicus curiae disampaikan saat majelis hakim MK menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk mengambil keputusan.
“Menurut saya (ini) merupakan bentuk lain intervensi nyata terhadap lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi yang dibingkai dalam format hukum atau lembaga amicus curiae,” kata Fahri kepada Tribunnews.com, Rabu (17/4/2024). .
Fahri menjelaskan, pada kenyataannya amicus curiae atau sahabat pengadilan hanya sebatas memberikan pendapat dalam suatu perkara.
Menurutnya, penggunaan lembaga “amicus curiae” secara umum biasanya digunakan di negara-negara yang menggunakan sistem hukum common law.
Di sisi lain, hal ini tidak terlalu umum digunakan di negara-negara dengan sistem hukum civil law, termasuk Indonesia.
Namun pada hakikatnya praktik seperti (ini) tidak dilarang jika digunakan dalam sistem hukum nasional kita, kata Fahri.
Fahri menegaskan, secara yuridis konsep amicus curiae di Indonesia merupakan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Dan dalam praktik hukum, praktik amicus curiae lebih banyak dilakukan pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung,” kata pakar hukum tata negara ini.
Ia mengatakan, ketidakjelasan lembaga amicus curiae sebenarnya bisa dilihat dan dipraktikkan dalam persidangan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Fahri, berdasarkan ketentuan hukum acara Mahkamah Konstitusi, pihak ketiga yang berkepentingan bisa mendaftar dan memberikan pendapat dalam proses uji hukum.
Ia menjelaskan, konsep ini sebenarnya agak identik dengan praktik amicus curiae yang dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum common law.
Padahal, kata dia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, serta Peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 4 Tahun 2023 tentang tata cara penyelesaian sengketa pemilu presiden, sama sekali tidak ada yang diketahui. . lembaga hukum amicus curiae.
Sebab, pada dasarnya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi, termasuk PHPU Pilpres, hakim MK bersandar pada konstitusi dan fakta hukum.
“Mahkamah Konstitusi tidak memutus suatu perkara konstitusi berdasarkan suatu pendapat atau pendapat yang dikemas dalam bingkai amicus curiae,” kata Fahri.
Lebih lanjut, Fahri mengatakan pihak yang mengajukan amicus curiae memiliki konflik kepentingan subyektif terhadap perkara itu sendiri.
“Pihak-pihak tersebut tentu mempunyai niat untuk memenangkan perkara konkrit dengan mencoba menggunakan cara-cara hukum berkedok amicus curiae atau bentuk intervensi nyata lainnya terhadap lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Oleh karena itu, Fahri meminta semua pihak membiarkan hakim memutus perkara perselisihan pemilu presiden secara objektif dengan mengedepankan asas imparsialitas.
NewsRoom.id