Para peneliti dari Universitas Roskilde di Denmark telah mengembangkan persamaan universal yang secara efektif dapat memprediksi frekuensi kepakan sayap dan sapuan sirip yang dilakukan oleh burung, serangga, kelelawar, dan paus. Penelitian inovatif ini baru-baru ini dipublikasikan di jurnal PLOS SATU.
Kemampuan terbang telah berevolusi secara mandiri pada berbagai kelompok hewan. Para ahli biologi berteori bahwa untuk meminimalkan pengeluaran energi selama penerbangan, frekuensi resonansi alami sayap harus menentukan frekuensi kepakan sayap. Namun, menemukan deskripsi matematis universal tentang penerbangan mengepak terbukti sulit.
Dalam studinya, para peneliti menggunakan analisis dimensi untuk menghitung persamaan yang menggambarkan frekuensi kepakan sayap burung terbang, serangga, dan kelelawar, serta kepakan sirip hewan menyelam, termasuk penguin dan paus.
Validasi Empiris Persamaan Universal
Para peneliti menemukan bahwa hewan terbang dan menyelam mengepakkan sayap atau siripnya dengan frekuensi yang sebanding dengan akar kuadrat massa tubuh dibagi luas sayap. Mereka mengujinya ketepatan persamaan dengan merencanakan prediksinya berdasarkan data yang dipublikasikan mengenai frekuensi kepakan sayap lebah, ngengat, capung, kumbang, nyamuk, kelelawar, dan burung mulai dari ukuran burung kolibri hingga angsa.
Perbandingan Lintas Spesies dan Wawasan Sejarah
Mereka juga membandingkan prediksi persamaan tersebut dengan data yang dipublikasikan mengenai frekuensi sirip penguin dan beberapa penguin lainnya jenis paus, termasuk paus bungkuk dan paus hidung botol utara. Hubungan antara massa tubuh, luas sayap, dan frekuensi kepakan sayap menunjukkan sedikit variasi pada hewan terbang dan menyelam, meskipun ada perbedaan besar dalam ukuran tubuh, bentuk sayap, dan sejarah evolusi.
Selain itu, para peneliti menunjukkan bagaimana persamaan mereka dapat memberikan wawasan tentang frekuensi kepakan sayap spesies yang punah. Dengan menggunakan persamaan mereka, para peneliti memperkirakan bahwa pterosaurus Quetzalcoatlus northropi yang telah punah, hewan terbang terbesar yang diketahui, mengepakkan sayapnya seluas 10 meter persegi pada frekuensi 0,7 hertz.
Implikasinya terhadap Biologi dan Teknologi Masa Depan
Studi tersebut menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan fisik yang sangat besar, hewan seperti kupu-kupu dan kelelawar telah mengembangkan hubungan yang relatif konstan antara massa tubuh, luas sayap, dan frekuensi kepakan sayap. Para peneliti mencatat bahwa untuk hewan perenang mereka tidak menemukan publikasi dengan semua informasi yang diperlukan; data dari berbagai publikasi dikumpulkan untuk membuat perbandingan, dan dalam beberapa kasus, kepadatan hewan diperkirakan berdasarkan informasi lain. Selain itu, hewan yang sangat kecil – lebih kecil dari yang pernah ditemukan – kemungkinan besar tidak masuk dalam persamaan ini, karena fisika dinamika fluida berubah dalam skala yang sangat kecil. Hal ini bisa berdampak pada masa depan nanobot yang bisa terbang. Para penulis mengatakan persamaan tersebut adalah penjelasan matematis paling sederhana yang secara akurat menggambarkan kepakan sayap dan guratan sirip di seluruh dunia hewan.
Para penulis menambahkan: “Frekuensi kepakan sayap/sirip berbeda hampir 10.000 kali lipat, data untuk 414 hewan mulai dari paus biru hingga nyamuk berada di jalur yang sama. Sebagai fisikawan, kami terkejut melihat seberapa baik prediksi sederhana kami mengenai formula kepakan sayap diterapkan pada beragam hewan.”
Referensi: “Penskalaan frekuensi ketukan sayap dan sirip universal” oleh Jens Højgaard Jensen, Jeppe C. Dyre dan Tina Hecksher, 5 Juni 2024, PLOS SATU.
DOI: 10.1371/jurnal.pone.0303834
Pendanaan: Penelitian ini didukung oleh hibah VILLUM Foundation Materials VIL16515.
NewsRoom.id