OLEH : ZAINAL BINTANG
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Faktanya, saat ini Indonesia memiliki tiga pemimpin nasional yang masih berkuasa. Pertama, misalkan Jokowi adalah presiden petahana hasil dua pemilu presiden (2014 – 2024), masih berkuasa hingga Oktober 2024.
Kedua, Prabowo Subianto (2024 – 2029), terpilih pada Pilpres 14 Februari 2024 bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang baru menjabat pada Oktober 2024.
Dan Megawati, presiden ke-5 (2001 – 2004), Ketua Umum PDIP. PDIP merupakan partai terbesar dan pemenang pemilu 2024. Ketiga tokoh tersebut saat ini seolah sedang memegang kendali kekuasaan dan menjadi kompas arah politik Indonesia kontemporer.
Hanya saja Jokowi mempunyai kendala atau kendala, karena semakin lama kekuasaannya maka semakin lemah pengaruhnya. Seluruh aparatur negara, baik sipil maupun militer, sadar bahwa kekuasaan Jokowi semakin hari semakin menyusut. Karena bulan Oktober akan segera berakhir.
Itu sebabnya banyak perhatian mereka mulai tertuju pada Prabowo. Namun demi uang tiga dolar, Prabowo tak bisa berbuat apa-apa karena baru akan dilantik pada Oktober 2024.
Sementara Megawati tetap eksis di kancah politik nasional, karena posisinya sebagai ketua umum partai politik terbesar masih bisa mempengaruhi naik turunnya dinamika politik Indonesia.
Gambaran keberadaan ketiga tokoh bangsa ini sekaligus menjadi potret keadaan bangsa Indonesia saat ini: di tangan para pemimpin bangsa yang dianalogikan “maju dan terbelakang”.
Banyak pihak yang mengatakan bahwa sepanjang sejarah – sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945 – Indonesia belum pernah mengalami kondisi politik yang “kacau” seperti ini: antara pemerintah dan tanpa pemerintahan.
Di antara ketiga tokoh nasional yang disebutkan di atas, yang masih aktif melakukan kerja politik adalah Megawati. Melalui PDIP, ia terus mengungkapkan sikap kritisnya terhadap situasi bangsa saat ini.
Bahkan, tanpa canggung, ia melontarkan kritik pedas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, serta kualitas kepemimpinan Jokowi yang telah ia “baptis” sebagai pengurus partai.
Adapun penilaiannya terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Megawati menunda pengumuman sikap PDIP. Menurutnya, saat ini pihaknya masih terus melakukan refleksi dan menerima masukan dari masyarakat.
“Tadi pagi saya baca Kompas, Rakernas menentukan sikap, bla bla. Saya sedang sarapan. Saya bilang tidak apa-apa, saya main dulu ya?” kata Megawati, Minggu (26/5/2024) saat penutupan Rapat Kerja Nasional V PDIP di Stadion Internasional Beach City, Ancol, Jakarta.
Megawati pun meminta persetujuan kadernya untuk tidak mengumumkan sikap politik PDIP pada Rakernas kali ini.
“Setuju atau tidak?” ujar Megawati.
Para kader menjawab serentak siapa yang setuju. Kader dituntut turun ke akar rumput untuk mendengar langsung aspirasi masyarakat. Mengancam tegas kader yang tidak mau bergabung dengan masyarakat agar keluar dari PDIP.
“Jangan terlalu berharap, sudah kubilang, aku ingin menjadikan partai ini sebagai partai garda depan. Kalian yang tidak bekerja untuk rakyat, keluarlah!” Megawati menegaskan.
Ia pun mengancam pimpinan setiap organisasi PDIP yang tak mau terjun ke masyarakat dengan pemecatan. Kami mengajak setiap kader PDIP untuk membuat laporan jika mendapati pimpinan PDIP di tingkat DPC dan DPP tidak mau mundur.
“Orang-orangmu harus melayanimu,” kata Mega.
Putri mantan presiden pertama Indonesia, Soekarno, meminta kadernya tidak takut untuk mengatakan kebenaran. Ketakutan hanyalah ilusi yang mengganggu pikiran. “Karena ketakutan hanyalah ilusi dan kita adalah manusia yang bebas,” kata Mega.
Menurut pengamat politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, pidato Ketua Umum PDIP pada pembukaan Rakernas V menunjukkan sikap oposisi PDIP terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan. Menurut dia, hal itu terlihat dari cara Megawati meneriakkan sejumlah slogan seperti “PDIP Tangguh” dan “Tidak Berani” dalam pidatonya.
Cara Megawati mengobarkan semangat kadernya adalah dengan berteriak, 'PDIP tangguh', 'takut atau tidak?', 'berani atau tidak?' “Ini indikasi kuat bahwa PDIP akan mengambil sikap sebagai oposisi di hadapan pemerintahan Prabowo-Gibran,” kata Umam kepada media.
Mega pun malu jika ada yang menuduhnya sebagai provokator yang menurutnya melakukan provokasi demi kebenaran dan keadilan. Sikap tersebut menegaskan bahwa PDIP tidak mau diajak bernegosiasi dan berkompromi dengan pemenang pemilu. Pemilu 2024,” jelas Umam yang turut menyoroti Megawati yang menyampaikan kritik kerasnya terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dinilai menyalahgunakan kekuasaan.
Megawati bahkan mengecam keras praktik penyalahgunaan aparat penegak hukum dan juga TNI-Polri sebagai alat politik dan kekuasaan. Karena itu, Megawati mempertanyakan, menggugat, dan mempertanyakan kredibilitas Pemilu 2024 yang dinilainya dirusak oleh kecurangan yang terstruktur, masif, dan sistematis (TSM).
Megawati juga menentang praktik kekuasaan yang semakin represif terhadap kebebasan sipil. Semua itu dianggap mirip dengan praktik kekuasaan otokratis.
Dengan demikian, di bawah kepemimpinan Megawati, hampir bisa dipastikan PDIP akan mengambil posisi sebagai oposisi menghadapi kepemimpinan pemerintahan Prabowo-Gibran, kata Umam.
“Dengan logika terbalik, penggunaan tema Satyam Eva Jayate atau Yang Benar Pada Akhirnya Menang, merupakan tuduhan tidak langsung bahwa yang menang sekarang adalah mereka yang tidak benar dalam pandangan PDIP. Cara pandang ini tidak lepas dari pandangan PDIP. Koreksi Total Praktik Kekuasaan “Pemerintahan Jokowi dinilai telah melumpuhkan pilar demokrasi dan dianggap melanggar komitmen agenda Reformasi 1998,” jelas Umam.
Lantas, sebenarnya apa yang ingin dilakukan Megawati saat ini?
Ikut Prabowo atau Lawan Hasil Pilpres 2024 Pemerintahan Presiden Prabowo?
Publik menantikan dengan cemas apa yang akhirnya diucapkan Megawati: “Saya bilang tidak apa-apa, saya main dulu!”
(Jurnalis Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya)
NewsRoom.id