NewsRoom.id -Putusan Mahkamah Agung (MA) yang memperluas penafsiran syarat usia calon kepala daerah dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 terus menuai kritik.
Bahkan, banyak pihak yang menilai keputusan MA tersebut merupakan arogansi lembaga tinggi negara.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
“Sebagai seseorang yang ingin menegakkan demokrasi, apalagi sudah ada putusan MA, mahkamah agung, kemarin mahkamah senior. Saya katakan ini putusan sontoloyo,” kata Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun saat ditemui di ruang sidang. Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (1/6).
“Apa yang salah dengan keputusan Sontoloyo? Bayangkan saja, jika kita membaca Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, jelas syarat untuk mencalonkan atau dicalonkan adalah harus berusia 30 tahun. diangkat,” kata Refly mengkritisi Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Tentu saja KPU selaku penyelenggara pilkada juga harus memikirkan hal tersebut.
“Karena kalau soal syarat diangkat, kita belum tahu kapan pelantikannya. Cek daftarnya ke KPU, saya masih 29 tahun, tapi kalau dilantik, 30 tahun. sudah lama, kita belum tahu kapan pelantikannya. Makanya menurut saya keputusannya sederhana saja, kata Refly.
Refly pun menegaskan akan terus mendorong demokratisasi agar sistem pemilu di Indonesia tidak semakin rusak.
“Menurut saya, kerusakan sistem pemilu kita semakin parah. Padahal itu bukanlah tujuan reformasi. Reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi semakin tinggi, terbukti dengan indeks persepsi korupsi kita yang tidak meningkat sejak SBY, pungkas Refly.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024 menyatakan batas usia 30 tahun bagi calon gubernur dan 25 tahun bagi calon bupati atau walikota diubah menjadi “berlaku pada saat pelantikan kepala daerah terpilih”. Ketentuan ini sebelumnya berlaku ketika menentukan calon untuk menjadi calon kepala daerah
NewsRoom.id