NewsRoom.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap penipuan dalam layanan kesehatan yang terjadi di tiga rumah sakit.
Ketiga rumah sakit tersebut, yang identitasnya belum diungkapkan, diduga melakukan penipuan dan pemalsuan klaim.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, praktik kecurangan dalam layanan kesehatan bermula saat KPK bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan studi banding di Amerika Serikat pada 2017.
Saat itu, tim yang berangkat membandingkan penipuan yang terjadi di layanan Obama Care.
“Waktu itu di tahun 2017, tim dari KPK, BPJS, dan Kementerian Kesehatan melihat bagaimana penanganan kecurangan di Obama Care, makanya kami ke Amerika bersama dan kami lihat FBI sampaikan ternyata 3-10 persen klaim pasti ada kecurangan di Amerika dan mereka tegas kalau memang ada kecurangan akan dibawa ke jalur pidana,” kata Pahala dalam diskusi “Pencegahan dan Penanganan Kecurangan JKN” di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (24/7/2024).
Komisi Pemberantasan Korupsi kemudian melakukan pengawasan terhadap enam rumah sakit di tiga provinsi.
Secara khusus, KPK melakukan observasi terhadap pelayanan kesehatan fisioterapi dan operasi katarak pada periode Juli 2017–Juni 2018.
Pahala mengatakan tim KPK menemukan tiga rumah sakit yang melakukan praktik penipuan terkait rekam medis untuk layanan fisioterapi.
Ia mengungkapkan adanya perbedaan antara jumlah layanan yang diberikan dengan jumlah klaim.
“Ternyata di tiga rumah sakit itu ada klaim 4.341 kasus, tapi sebenarnya di rekam medis itu ada 1.000 kasus. Jadi sekitar 3.000 di antaranya diklaim sebagai fisioterapi, tapi sebenarnya di rekam medis tidak ada,” katanya.
“Jadi kita katakan 3.269 ini sebenarnya fiktif, yang kita sebut kategori dua, ini diagnosis medis yang salah,” kata Pahala.
Selain itu, kata Pahala, tim juga menemukan praktik penipuan pelayanan kesehatan berupa pengancaman klaim.
Misalnya, lanjut Pahala, rumah sakit memberikan pelayanan fisioterapi sebanyak dua kali tetapi mengklaim 10 kali.
“Misalnya, Anda ditagih untuk 10 sesi fisioterapi, tetapi ketika kami tanyakan kepada orang tersebut, itu hanya dua kali. Nah, ini jenis penipuan kedua, orangnya ada di sana, terapinya ada, tetapi nilai klaimnya digelembungkan. Itu yang kami temukan pada tahun 2018,” kata Pahala.
Penipuan dalam pelayanan operasi katarak juga ditemukan oleh Komite Pemberantasan Korupsi, BPJS, dan Kementerian Kesehatan.
Pahala menuturkan, ada temuan rumah sakit yang membuat catatan fiktif terkait operasi katarak yang diberikan kepada warga.
“Kami juga melihat (layanan operasi) katarak di tiga rumah sakit. Ke-39 pasien kami sama saja, sebenarnya hanya 14 orang yang memenuhi syarat untuk operasi katarak, tetapi diklaim semuanya telah menjalani operasi katarak.
“Kita sudah cek, kita bilang 'operasinya di satu mata tapi katanya di dua mata', kira-kira begitulah keadaannya waktu itu,” ungkapnya.
Pahala mengatakan timnya juga menemukan jenis penipuan yang dilakukan oleh rumah sakit dengan menciptakan pasien fiktif untuk mendapatkan perawatan medis. Penipuan ini dikenal dengan istilah phantom billing.
“Tidak ada apa-apa, tidak ada pasien, ada terapi, tetapi semua dokumen dibuat sedemikian rupa sehingga tampak seperti dia mengklaim itu untuk orang yang ada di sana dengan semua jenis terapi.
“Itulah yang kami sebut penagihan semu,” katanya.
Hasil investigasi KPK kemudian menemukan tiga rumah sakit yang melakukan phantom billing.
Tiga rumah sakit tersebut berada di Jawa Tengah dan dua di Sumatera Utara.
“Ada tiga rumah sakit yang hanya melakukan phantom billing. Ketiga rumah sakit ini melakukan phantom billing, artinya mereka memalsukan semua dokumen. Satu di Jawa Tengah dengan klaim sekitar Rp29 miliar, dua lagi di Sumatera Utara dengan Rp4 miliar dan Rp1 miliar merupakan hasil audit klaim dari BPJS Kesehatan,” kata Pahala.
Pahala mengatakan tindakan tiga rumah sakit tersebut telah mengakibatkan kerugian negara. Temuan tersebut telah disampaikan kepada pimpinan KPK dan akan dikaji lebih lanjut.
“Hasilnya, pimpinan memutuskan ketiganya dilimpahkan ke kejaksaan. Nanti siapa yang mengambil alih, apakah kejaksaan yang menyidik atau KPK, itu yang akan ditangani pimpinan KPK,” kata Pahala.
NewsRoom.id