NewsRoom.id -Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono baru-baru ini diperiksa tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 2,5 jam pada Jumat (26/7).
Trenggono sebelumnya tidak hadir saat dipanggil tim penyidik pada Jumat (12/7). Ia dipanggil sebagai saksi dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham PT Teknologi Riset Global Investama dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa dalam kerja sama fiktif Telkom dengan PT Telemedia Onyx Pratama (TOP).
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Di sisi lain, Partai Negoro juga melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan pasar gelap dalam kebijakan Benih Lobster Bening (BBL) pada Jumat (12/7).
“Partai Negoro akan melaporkan 16 Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) tingkat provinsi. Sambil mendatangi KPK untuk melengkapi dokumen laporan Menteri Kelautan dan Perikanan. Kenapa sekitar 16 Kepala DKP tingkat provinsi akan kami laporkan? Karena ada dugaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tidak sah dalam pengurusan izin ekspor BBL ilegal. Seharusnya izin budidaya, tapi malah diberikan izin ekspor, padahal aturannya untuk budidaya,” kata Ketua Bidang Geomaritim Partai Negoro, Rusdianto Samawa kepada wartawan, Jumat (26/7).
Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28/2024 tentang perkiraan dan kuota tangkapan BBL, terdapat 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dan 16 provinsi.
“Ke-11 WPP tersebut sudah memiliki kuota dan estimasi jumlah BBL yang harus ditangkap nelayan. Hal ini rawan terjadi transaksi gelap dengan motif pemberian izin ekspor BBL ilegal, padahal izin budi daya benih lobster seharusnya diberikan kepada sejumlah koperasi dan organisasi nelayan,” katanya.
Menurutnya, terdapat kelemahan dalam regulasi berupa Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri tersebut, jika ditelaah, keduanya saling bertentangan. Pertama; Peraturan Menteri 7/2024 tentang Pengelolaan Lobster. Kedua; Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28/2024 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diizinkan, dan Kuota Tangkapan Benih Lobster (puerulus).
“Ada unsur kesengajaan dan kecurigaan, dua regulasi ini dikeluarkan untuk mengelabui masyarakat. Karena Permen 7 itu, di situ disebutkan budidaya. Pasal 2 ayat b memperbolehkan di luar wilayah NKRI. Hei, yang kita maksud ini yang kita duga adalah ekspor ilegal berkedok budidaya di luar negeri, omong kosong. Stop, cabut dulu regulasi dan SK-nya supaya masyarakat tidak menggugat. Cabut juga izin-izin yang diberikan para kepala dinas sebelum menjadi masalah korupsi kolektif,” pungkasnya.
“Jadi kami akan laporkan pimpinan DKP ke KPK, sambil kami tindak lanjuti kelengkapan dokumen laporan Menteri KP sebelumnya, serta bukti-bukti dugaan transaksi sementara, data Badan Layanan Umum (BLU) hingga siapa yang menerima izin ekspor. Ya, kami anggap kasus ini, bukan perkara remeh, bukan perkara main-main sebagai bentuk korupsi, kejahatan, pembandingan, dan tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum,” tuturnya.
Ia juga mengatakan, KPK seharusnya menahan Menteri Kelautan dan Perikanan yang diperiksa hari ini. Ia prihatin dengan dinamika BBL yang tak kunjung tuntas, sejak 10 tahun terakhir.
“Sekaligus kami mengutuk pola menteri yang melakukan sweeping dunia dan membajak benih lobster yang berserakan, tempat pembudidayaannya di Bali. Stop menipu rakyat. Jujurlah. Buatlah regulasi yang rinci, jelas dan bermanfaat. Kalau kebijakannya seperti ini, namanya kriminal, pencuri, perompak sumber daya laut, menggadaikan kedaulatan NKRI,” pungkas Rusdianto Samawa.
NewsRoom.id









