NewsRoom.id – Dua mahasiswa dilarikan ke Rumah Sakit Bhakti Mulia, KS Tubun, Palmerah, Jakarta Barat setelah diduga mendapat tindakan kekerasan dari oknum polisi.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Salah satu pendemo yang ikut dalam aksi tolak Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada), Mazzay Makarim mengatakan, keduanya merupakan presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Brawijaya dan Universitas Indonesia.
“Ada dua presiden yang dirawat di rumah sakit akibat tindakan represif aparat, yakni Satria Naufal (Koordinator Pusat BEM SI dan Ketua BEM Universitas Brawijaya) dan Verrel Uziel (Ketua BEM UI),” kata Mazzay saat dihubungi Kompas.com, Kamis (22/8/2024).
Satria dan Verrel segera dibawa ke rumah sakit dengan taksi.
Setibanya di sana, Satria langsung ditangani secara medis dan dilakukan USG.
“Satria mengalami luka di perut bagian bawah. Saat ini sedang menjalani perawatan dan pemeriksaan lebih lanjut (USG),” katanya.
Satria diketahui tertusuk duri pagar saat ia mencoba melarikan diri dari kejaran polisi.
“Melompati pembatas jalan raya untuk keluar dari pengepungan,” tambah Mazzay.
Sementara itu, Verrel terluka di tangan kirinya dan membutuhkan 11 jahitan.
Mazzay mengatakan kedua temannya berusaha melarikan diri melalui pintu tol dan berhasil. Namun, alih-alih melarikan diri, mereka justru diintimidasi oleh polisi.
“Petugas polisi mengendarai sepeda motor ke jalan tol dan mengintimidasi Satria dan Verrel, meskipun mereka hanya berdua,” kata Mazzay.
Ia menambahkan, keduanya juga dilempari kata-kata kasar oleh polisi yang mengepung mereka dengan sepeda motor.
“Mengelilingi mereka berdua, berputar-putar di atas sepeda motor sambil berteriak 'Pulanglah, dasar bodoh',” katanya.
Selain itu, keduanya juga mendapat tindakan kekerasan dari pihak kepolisian. Padahal saat itu keduanya sudah dalam kondisi terluka.
“Polisi memukuli kedua orang itu. Padahal mereka terluka dan berusaha melindungi diri,” katanya.
Sebagai informasi, aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI tersebut merupakan reaksi sejumlah aliansi masyarakat sebagai bentuk penolakan terhadap RUU Pilkada.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah aturan mengenai ambang batas pencalonan gubernur dan wakil gubernur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 pada Selasa (20/8/2024).
Mahkamah Konstitusi memutuskan ambang batas pencalonan kepala daerah dari partai politik sama dengan ambang batas pencalonan kepala daerah melalui jalur mandiri/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur dalam Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Pilkada.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini, ambang batas pencalonan gubernur Jakarta hanya mensyaratkan 7,5 persen suara pada pemilihan legislatif sebelumnya.
Namun, sehari setelah putusan MK tersebut, DPR dan pemerintah langsung menggelar rapat untuk membahas revisi Undang-Undang Pilkada.
Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang Pilkada DPR RI berupaya mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi dengan menjadikan relaksasi ambang batas hanya berlaku bagi partai politik yang tidak memiliki kursi DPRD.
Ketentuan tersebut merupakan tambahan paragraf pada Pasal 40 UU Pilkada hasil revisi yang dibahas panitia kerja dalam rapat yang berlangsung hanya sekitar tiga jam.
Sementara itu, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mengatur ambang batas perolehan kursi DPRD sebesar 20 persen atau 25 persen suara sah pemilu legislatif tetap berlaku bagi partai politik peraih kursi DPR.
Meski demikian, Wakil Ketua DPR Sufmi Dafco Ahmad memastikan pengesahan UU Pilkada hasil revisi itu batal.
“Dengan belum disahkannya revisi UU Pilkada pada 22 Agustus hari ini, maka yang berlaku pada saat pendaftaran 27 Agustus adalah hasil putusan JR MK yang disampaikan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora. Sudah selesai,” kata Dasco kepada Kompas.com, Kamis.
NewsRoom.id