Istana di Jakarta dan Bogor Berbau Kolonial, Bagaimana dengan IKN?

- Redaksi

Sabtu, 17 Agustus 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

OLEH: ADIAN RADIATUS*

IKLAN

GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN

PRESIDEN Joko Widodo mengungkapkan perasaannya terhadap Istana di Jakarta dan Bogor yang bernuansa kolonial. “Saya merasakannya,” kata Jokowi di hadapan media.

Menjadi pertanyaan yang menarik, mengapa kalau dari awal beliau sudah mencium aroma kolonialisme, baru sekarang beliau ungkapkan, ketika masa jabatannya sudah mau berakhir, tepatnya pada peringatan HUT RI ke-79?

Harus diakui bahwa segala kritikan yang disuarakan oleh kalangan akademisi, pecinta tanah air, serta masyarakat intelektual yang lebih luas semakin menjadi kebenaran.

Apalagi jika melihat sifat dan kepribadian Jokowi sebagai presiden, salah satunya adalah julukan king of lip service oleh mahasiswa UI sebagai deteksi perilaku kepemimpinan Jokowi bagi bangsa dan negara ini.

Kini, hanya tinggal hitungan minggu lagi, ia telah menyatakan perasaannya yang cenderung keliru (mengingat sikapnya yang keliru sebelumnya), bahwa ia telah mencium suasana kolonial di Istana Jakarta dan Bogor.

Sesuatu yang tanpa disadari telah meremehkan kebesaran bangsa ini dalam membebaskan negara kita tercinta.

Kedua istana ini sejatinya merupakan simbol kemenangan besar perjuangan tanpa pamrih para pahlawan dan di antara kemenangan tersebut adalah keberhasilan mengusir penjajah yang dilambangkan dengan direbutnya kedua istana yang kemudian menjadi Istana Negara dan Istana Merdeka.

Bagaimana bisa dikatakan masih ada nuansa kolonial?

Naif rasanya jika kita mencoba mengaitkan bau kolonialisme dengan keberadaan kedua Istana tersebut. Apakah analogi tersebut berarti negeri ini juga berbau kolonialisme?

Jika memang begitu, Presiden Jokowi tampaknya perlu kembali ke sekolah menengah untuk memahami apa arti penjajahan dan kemerdekaan. Maaf.

Karena presiden juga manusia biasa yang tidak sempurna bukan berarti rakyat harus mengerti dan menerimanya.

Sebab, masyarakat akan sulit maju jika jiwa kepemimpinannya luntur dan tidak memahami bagaimana menjadi seorang negarawan, yakni yang memahami etika keilmuan terkait sejarah dan dinamika perjalanan bangsanya.

Kolonialisme identik dengan pendudukan yang menindas dan kediktatoran, memainkan politik pecah belah dan kuasai serta bersikap serakah dan kejam meskipun tampaknya tidak bersalah.

Kalau mau “membunuh” lawan, pakai tangan orang lain. Sifat-sifat ini sangat tercermin dalam perilaku kepemimpinan Jokowi dalam beberapa hal. Sungguh menyedihkan.

Maka tak heran ketika Jokowi menyatakan bahwa dirinya merasakan “bau kolonial” di udara, seolah-olah masyarakat tengah disadarkan akan caranya menjalankan negara ini.

Banyaknya kesalahan dan kerusakan struktural dalam pengelolaan sistem ekonomi dan politik telah mengakibatkan menurunnya kekuatan hukum dan keadilan bagi masyarakat luas.

Dengan kata lain, apabila pemindahan Istana hanya didasari bau-bau kolonialisme agar ada kepuasan dalam membangun sesuatu yang baru di Ibu Kota Negara Kepulauan Indonesia (IKN), hal itu sangat tidak tepat.

Sikap seperti ini cenderung egosentris karena mengabaikan sejarah yang seharusnya menjadi pengikat kebersamaan, alih-alih menjadikannya sebagai penghalang ikatan rohani rakyat dengan perjuangan yang melahirkan Istana Negara dan Istana Merdeka.

Kemudian menjadi pertanyaan menarik dalam konteks moralitas bangsa, kalau Jokowi merasa Istana Jakarta dan Bogor berbau kolonialisme, lalu bagaimana dengan Istana IKN?

Selama ini, aroma kecintaan palsu terhadap bangsa dan negara lebih dominan karena Istana IKN sejak dibangun tidak dibarengi dengan jiwa dan semangat nasionalisme rakyat melainkan hanya ambisi Presiden Jokowi semata.

*(Penulis adalah pengamat sosial dan politik)

NewsRoom.id

Berita Terkait

“Kami sudah memeriksa, tidak ada”
Harta Kekayaan Mahyeldi Ansharullah, Gubernur Sumbar yang Alihkan Uang Penerimaan 3 Anak ke Korban Banjir
Setelah Puluhan Tahun Misteri, Para Ilmuwan Mengungkap Teori Besar Tentang Partikel Aneh
RidgeAlloy: Material Baru yang Mengubah Scrap Menjadi Komponen Berkinerja Tinggi
DPR menyebut serangan terhadap media sosial adalah ulah para buzzer yang terorganisir
Remaja Mengalahkan Leukemia Mematikan Dengan Terapi Sel yang Diedit Gen yang Menyelamatkan Jiwa
Pembukaan Kembali Sekolah Akibat COVID Dengan Cepat Mengurangi Kecemasan, Depresi, dan ADHD pada Anak-anak
Viral Pencabulan Santri di Ponpes Bangkalan, Diduga 30 Orang Jadi Korban Nafsu Guru Ponpes

Berita Terkait

Selasa, 9 Desember 2025 - 11:15 WIB

“Kami sudah memeriksa, tidak ada”

Selasa, 9 Desember 2025 - 10:44 WIB

Harta Kekayaan Mahyeldi Ansharullah, Gubernur Sumbar yang Alihkan Uang Penerimaan 3 Anak ke Korban Banjir

Selasa, 9 Desember 2025 - 08:40 WIB

Setelah Puluhan Tahun Misteri, Para Ilmuwan Mengungkap Teori Besar Tentang Partikel Aneh

Selasa, 9 Desember 2025 - 08:09 WIB

RidgeAlloy: Material Baru yang Mengubah Scrap Menjadi Komponen Berkinerja Tinggi

Selasa, 9 Desember 2025 - 07:07 WIB

DPR menyebut serangan terhadap media sosial adalah ulah para buzzer yang terorganisir

Selasa, 9 Desember 2025 - 04:32 WIB

Pembukaan Kembali Sekolah Akibat COVID Dengan Cepat Mengurangi Kecemasan, Depresi, dan ADHD pada Anak-anak

Selasa, 9 Desember 2025 - 03:30 WIB

Viral Pencabulan Santri di Ponpes Bangkalan, Diduga 30 Orang Jadi Korban Nafsu Guru Ponpes

Selasa, 9 Desember 2025 - 01:25 WIB

Cuaca yang Lebih Panas Mengganggu Tonggak Pembelajaran Awal

Berita Terbaru

Headline

“Kami sudah memeriksa, tidak ada”

Selasa, 9 Des 2025 - 11:15 WIB