NewsRoom.id – Puluhan remaja muslim yang tergabung dalam Pasukan Pengibar Bendera Negara (Paskibraka) 2024 diduga dipaksa melepas jilbab jika ingin tetap menjalankan tugas pada 17 Agustus mendatang. Kabar tersebut sontak menuai reaksi publik, termasuk dari tokoh organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, misalnya. Sekjen Prof. Abdul Mu'ti mengimbau kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai koordinator pelaksanaan program Paskibraka Nasional untuk menegakkan aturan secara tidak diskriminatif. Keputusan yang “memaksa” puluhan muslimah itu seharusnya tidak berlaku.
“Jika pelarangan jilbab bagi Paskibraka Nasional benar-benar terjadi, itu sungguh bertentangan dengan Pancasila dan kebebasan beragama. Model pemaksaan seperti itu tidak boleh terjadi,” kata Abdul Mu'ti saat dihubungi Republika, Rabu (14/8/2024).
Sementara itu, dalam keterangan pers, Kepala BPIP Yudian Wahyudi menyatakan, setiap individu telah menandatangani surat pernyataan kesediaan sebelum mendaftar Paskibraka 2024. Dengan demikian, diharapkan mereka memahami aturan yang ada, termasuk Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang Standar Busana, Atribut, dan Penampilan Paskibraka.
Dalam SK tersebut terdapat instruksi bagi Paskibraka putri untuk memperlihatkan rambutnya saat bertugas, yakni terutama saat Pelantikan Paskibraka dan Pengibaran Bendera Merah Putih pada upacara kenegaraan.
“Di luar Pelantikan Paskibraka dan Pengibaran Bendera Merah Putih pada Upacara Kenegaraan, Paskibraka Putri memiliki kebebasan untuk mengenakan jilbab dan BPIP menghormati hak atas kebebasan mengenakan jilbab tersebut,” kata Yudian Wahyudi dalam keterangan pers yang diterima Republika, Rabu (14/8/2024) sore.
Jika menilik sejarah, polemik jilbab dalam Paskibraka yang dikoordinasi BPIP seharusnya tidak terjadi. Sebab, pada momen sakral pengibaran bendera Merah Putih pada 17 Agustus 1945, ada sosok yang mengenakan jilbab. Dia adalah Ibu Fatmawati Soekarno.
Istri Presiden Sukarno memegang peranan penting dalam hari-hari menjelang Proklamasi Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Ibu Megawati Soekarnoputri adalah orang yang menjahit kain merah putih menjadi Sang Saka Merah Putih.
Menurut sejarawan JJ Rizal, salah satu foto pengibaran Bendera Pusaka yang populer terdapat dalam otobiografi Sukarno, Bung Karno, Juru Bicara Rakyat Indonesia, yang disusun oleh Cindy Adams.
Bung Karno menuturkan, saat menjahit Bendera Pusaka, istrinya tengah mengandung anak pertama. “Istri saya, Fatmawati, di tengah kehamilan pertamanya menjahit Bendera Merah Putih yang kemudian menjadi Bendera Pusaka,” tutur presiden pertama Republik Indonesia itu dalam otobiografinya (hlm. 398).
Mengomentari foto yang mengabadikan momen pengibaran Bendera Pusaka, JJ Rizal membenarkan bahwa sosok berhijab itu adalah Ibu Fatmawati. “Benar, itu Ibu Fatmawati,” katanya melalui aplikasi pesan kepada Republika, Rabu (14/8/2024).
Jika mengenakan jilbab dianggap kurang “Bhinneka Tunggal Ika”, bagaimana dengan Ibu Fatmawati yang mengenakan jilbab saat upacara pengibaran bendera pada 17 Agustus 1945? Mengapa harus mempertanyakan pakaian yang biasa dikenakan oleh wanita Muslim yang taat?
Ingat pesan Bung Karno: jasmerah! Jangan pernah melupakan sejarah. Dalam konteks ini, cukuplah Ibu Megawati Soekarnoputri, Ketua Dewan Pengarah BPIP, menjadi contoh bahwa jilbab tidak mengurangi keindonesiaan seseorang.
Sebagai seorang muslimah yang taat, wanita kelahiran Bengkulu ini gemar mengenakan penutup rambut. Fatmawati lahir dari orangtua keturunan Minangkabau.
Ayahnya bernama Hasan Din (1905–1974), sedangkan ibunya bernama Siti Chadijah. Di Bengkulu, ayahnya dikenal luas sebagai pengusaha dan juga tokoh Persaudaraan Muhammadiyah.
Pada tanggal 1 Juni 1943, Fatmawati menikah dengan Sukarno yang saat itu diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari pernikahan tersebut, pasangan bahagia ini dikaruniai lima orang putra dan putri, yakni Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Fatmawati telah kembali ke pangkuan Allah pada 14 Mei 1980 di Kuala Lumpur, Malaysia. Sebelumnya, ia sempat menjalani perawatan medis setelah mengalami serangan jantung dalam perjalanan pulang dari umrah di Tanah Suci. Jenazahnya dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.
NewsRoom.id