Oleh: Petrus Celestine
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Koordinator TPDI dan Gerakan Advokat Indonesia
Kasus unggahan akun Fufufafa yang menyeret nama Gibran Rakabuming Raka (Gibran), putra sulung Presiden Jokowi sekaligus calon wakil presiden terpilih, kini menjadi buah bibir.
Hal ini pun berimplikasi pada pemicu krisis kepercayaan publik yang meluas, tidak hanya terhadap Gibran tetapi juga terhadap Presiden Jokowi.
Kasus akun ini menjadi viral di media sosial karena akun tersebut disebut-sebut milik Gibran namun dibiarkan menjadi bola liar oleh Kepolisian tanpa ada tindakan dari pihak Keamanan dan Ketertiban Masyarakat serta penegak hukum karena memuat konten pidana ITE.
Yang membuat akun Fufufafa menjadi viral bukan hanya karena kepemilikannya dikaitkan dengan Gibran, tetapi juga karena kontennya sarat narasi penghinaan, kebencian, dan berita bohong yang ditujukan kepada sejumlah tokoh publik, termasuk Presiden terpilih Prabowo Subianto dan tokoh publik (artis) lainnya.
Melihat narasi pada akun Fufufafa yang tengah ramai diperbincangkan publik, sudah seharusnya Kapolda menjadi orang pertama yang melakukan tindakan kepolisian berupa penyidikan dan penyelidikan terhadap siapapun pemilik akun Fufufafa tersebut.
Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan apakah akun Fufufafa tersebut benar-benar milik Gibran, apakah kontennya asli atau tidak, dan apakah ada tindak pidana terkait konten dan metode yang digunakan.
Meninggalkan
Kapolri selalu bergerak lambat bahkan terkesan bimbang ketika ada netizen yang berperan aktif membantu kepolisian dalam menegakkan hukum, berinisiatif mengungkap perilaku tercela atau dugaan tindak pidana yang diduga dilakukan oleh putra/putri Presiden Jokowi dan/atau keluarganya.
Dalam kasus akun Fufufafa, Kapolri seolah membiarkan publik menghakimi Gibran dan mengadu domba Gibran dengan Prabowo Subianto (Calon Wakil Presiden versus Calon Presiden Terpilih).
Kelalaian Kapolri jelas merupakan kebijakan yang berpotensi menciptakan krisis kepercayaan publik yang lebih luas terhadap Jokowi dan Gibran.
Padahal, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo seharusnya sudah bisa memprediksi, dengan menyerahkan sepenuhnya perkara akun Fufufafa kepada penilaian netizen, Gibran sebagai calon wakil presiden terpilih dan Presiden Jokowi akan menghadapi krisis kepercayaan publik yang makin meluas.
Apalagi, akhir-akhir ini muncul tuntutan dari mahasiswa agar Gibran tidak dilantik sebagai Wakil Presiden dan agar Presiden Jokowi segera dicopot.
MPR Tak Lantik Gibran
Melihat dinamika politik yang berubah dan bergeser begitu cepat, membuat konstelasi dan konfigurasi politik pun berubah cepat hanya dalam hitungan jam sesuai kepentingan politik.
Masyarakat tidak mau kalah bahkan sudah menemukan pola gerakan untuk melawan segala tindakan sewenang-wenang penguasa.
Oleh karena itu, dengan dukungan bukti-bukti hukum dan fakta sosial yang sudah “notoire feiten”, masyarakat mulai menuntut agar MPR tidak mengangkat Gibran sebagai wakil presiden dan mencopot Jokowi sebelum 20 Oktober 2024.
Secara konstitusional, MPR merupakan pelaksana fungsi perwakilan rakyat, pemegang kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, MPR bukanlah lembaga yang mengesahkan hasil pemilu dan bukan pula lembaga yang mengesahkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perselisihan pemilu presiden dan presiden.
Mengapa demikian? Karena MPR merupakan lembaga tinggi negara, maka MPR merupakan lembaga penilai tertinggi dan terakhir sehingga berwenang menilai kelayakan Calon Presiden-Wakil Presiden terpilih, apakah layak dan memiliki dasar hukum untuk dilantik atau tidak.
Jangka waktu 8 (delapan) bulan setelah Pemilu Februari 2024 sampai dengan tanggal 20 Oktober 2024, oleh pembentuk undang-undang ditafsirkan memberikan waktu kepada MPR untuk melakukan pengawasan terhadap segala hal yang tidak baik yang akan timbul dan menimpa Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih serta MPR dapat mencabut jabatan Calon Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu.
Sebab tidak menutup kemungkinan dalam proses penyelenggaraan pemilu sampai dengan proses sengketa pemilu dapat terjadi pelanggaran hukum namun luput dari pengawasan instrumen politik dan hukum yang berlaku (KPU, BAWASLU, MK dan PTUN).
MPR harus melihat secara jernih bahwa hukum bukan lagi panglima, terdapat fakta notoire feiten bahwa pada saat Mahkamah Konstitusi bersidang di masa lalu, para Hakim Konstitusi diduga berada di bawah pengaruh kekuasaan eksekutif melalui Dinasti Politik di Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, sangat beralasan apabila MPR mendiskualifikasi Gibran dengan tidak mengangkat Gibran sebagai Wakil Presiden mendampingi Calon Presiden Prabowo Subianto.
NewsRoom.id