NewsRoom.id – Tiga pasang calon Gubernur Jawa Timur bersatu menggandeng unsur Nahdlatul Ulama atau NU di Pilkada 2024. Pengamat politik Islam, Ahalla Tsauro menilai perolehan suara Nahdlatul Ulama dalam kontestasi Pilgub Jawa Timur memang signifikan dan menjadi faktor utama penentu kemenangan.
Seperti diketahui, ada tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang bersaing di Pilkada Jawa Timur, yakni Khofifah-Emil Dardak, Risma-Gus Hans, dan Luluk-Lukman.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
“Tidak mengherankan jika unsur NU hadir pada tiga pasangan calon gubernur Jawa Timur 2024. Seperti Khofifah, Gus Hans, Luluk, dan Lukman,” kata Ahalla kepada Tempo, Ahad, 1 September 2024.
Menurutnya, besarnya suara warga Nahdliyin tidak lepas dari faktor sosiologis-historis NU yang lahir dan tumbuh di Jawa Timur. Diikuti oleh ribuan pondok pesantren atau lembaga keagamaan yang berdiri dan berafiliasi dengan NU.
Ahalla mengatakan, Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak tetap diunggulkan untuk meraup suara warga Nahdliyin meski pasangan calon ini tidak didukung oleh partai berbasis NU, yakni PKB. Pasalnya, Khofifah masih menjabat sebagai Ketua Muslimat NU dan memiliki kedekatan dengan pemerintah pusat.
“Peran Khofifah dalam memenangkan pasangan Prabowo-Gibran di pilpres bisa menjadi faktor yang signifikan. Bisa jadi Khofifah akan mudah mendapat dukungan dari pusat,” kata akademisi dari Konsorsium Riset dan Pemberdayaan untuk Kesejahteraan (KIPRAH) itu.
Namun, perolehan suara NU untuk Khofifah-Emil berpotensi terganggu oleh kehadiran Gus Hans sebagai calon wakil gubernur Tri Rismaharini dan pasangan Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim. Meski tak didukung koalisi besar seperti Khofifah-Emil, Risma-Gus Hans yang didukung PDIP dan Luluk-Lukman dengan dukungan PKB mampu memanfaatkan suara warga Nahdliyin di level akar rumput.
“Ingat, hasil Pileg 2024 menunjukkan PKB dan PDIP mendominasi suara di Jawa Timur,” terang alumnus National University of Singapore (NUS) itu.
Selain itu, Ahalla menilai polemik PKB-PBNU bisa mengganggu dominasi Khofifah-Emil. Pasalnya, kaum Nahdliyin Jawa Timur tampak kecewa dengan dicopotnya KH Marzuki Mustamar sebagai Ketua Umum PWNU Jawa Timur saat kampanye pemilihan presiden. “Kekecewaan ini tentu tidak bisa dilupakan oleh kaum Nahdliyin,” kata pria asal Tuban, Jawa Timur itu.
Menurut Ahalla, Khofifah-Emil masih memegang elektabilitas tertinggi dalam survei tersebut. Namun, jika narasi kekecewaan terhadap PBNU dimainkan pada masa kampanye, maka elektabilitas Khofifah-Emil berpotensi turun.
“Karena itu, Risma-Gus Hans dan Luluk-Lukman dapat memanfaatkan narasi ini selain berkampanye di tempat-tempat strategis untuk meraup suara NU di tingkat akar rumput,” kata Ahalla.
Di sisi lain, narasi kekecewaan itu bisa saja diakomodir Risma dengan memerankan sosok calon wakil gubernurnya, Gus Hans untuk menarik simpatisan di level akar rumput. Apalagi, Gus Hans pernah menjadi juru bicara Khofifah-Emil di Pilgub 2019 yang bisa mengantisipasi strategi kampanye nantinya.
“Sementara itu, nama besar Risma bisa jadi menjadi faktor lain yang menyedot suara NU karena karier politiknya selama ini,” terang pria yang menimba ilmu di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) tersebut.
Ahalla menyimpulkan, jika dua calon lainnya ingin melawan Khofifah-Emil, maka keduanya harus bekerja sama di belakang layar, bukan bersaing. Tujuannya adalah menggoyang petahana lewat narasi-narasi, salah satunya tentang NU.
Kalau tidak, Risma-Gus Hans dan Luluk-Lukman hanya akan memberikan gangguan minimal yang tidak berdampak. “Yang jelas keduanya akan kesulitan menghalangi Khofifah-Emil karena belum pernah ikut Pilgub Jatim. Kita lihat saja nanti setelah kampanye resmi dimulai,” kata Ahalla.
NewsRoom.id