NewsRoom.id, JAKARTA – Kesalahan hukum kasus Mardani H Maming memang nyata, sejumlah profesor dan akademisi mencatat banyak kesalahan dan kesalahan hakim dalam memutus perkara tersebut.
Kekeliruan dan kesalahan hakim semakin terlihat jelas dalam kasus calo hukum yang dilakukan mantan pejabat Eselon 1 MA, Zarof Ricar.
Makelar kasus seperti Zarof bermain tidak hanya untuk membebaskan terdakwa, namun sebaliknya juga dapat menggiring seseorang untuk divonis bersalah melalui kasus-kasus yang dibuat-buat, padahal tidak cukup bukti untuk menjatuhkan hukuman.
Perbuatan Zarof Ricar merupakan bagian dari kasus mafia keadilan di Republik Indonesia yang sudah berlangsung lama.
Pendapat tersebut disampaikan Prof Mahfud Md, dalam keterangannya di akun YouTube-nya, dimana Mahfud mengatakan, tindakan Zarof selama menjabat harus didalami Kejaksaan Agung.
Menjadi makelar kasus pada 2012 – 2022, Mahfud menilai kasus yang ditangani Zarof perlu diusut.
“Kasus ini harus diusut, kejaksaan harus membuka kembali kasusnya. Jika memungkinkan, coba lagi. Agar tidak ada korban yang dihukum karena hanya dijadikan kambing hitam, ujarnya.
Dia menilai, jika ada korban kambing hitam dalam sejumlah kasus yang terindikasi dalam kasus ini, maka bisa dilakukan peninjauan kembali.
Berdasarkan keterangan Mahfud, salah satu kasus yang patut diusut kembali adalah kasus Mardani H Maming sebagai terdakwa gratifikasi dan suap saat menjabat Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Menurut Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof Yos Johan Utama, keputusan hakim yang memutuskan bersalah Mardani H Maming adalah suatu kekeliruan.
Berdasarkan pemeriksaannya, mantan Rektor Undip itu mengkritisi hukuman yang dijatuhkan hakim kepada Mardani H Maming terkait pasal yang didakwakan kepada terdakwa.
Ia menyatakan, keputusan Bupati Mardani H. Maming mengenai pengalihan IUP dari aspek hukum administrasi adalah sah dan tidak pernah dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yaitu pengadilan yang berwenang di bidang tata usaha negara. hukum. .
Apalagi ada putusan Pengadilan Niaga yang menyetujui dan menyatakan bahwa ini murni hubungan bisnis dan bukan perjanjian diam-diam.
“Pengadilan Tipikor yang merupakan pengadilan pidana tidak berwenang menilai keabsahan keputusan tata usaha negara. Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran hukum administrasi yang dapat dijadikan dasar pidana, dan terdakwa tidak dapat dihukum, ujarnya. .
Lanjutnya, majelis hakim pidana diduga keliru dan keliru karena ketentuan yang dijadikan dasar dakwaan terhadap terpidana, yakni pasal 97 ayat 1 UU 4 Tahun 2009 tentang pertambangan, mineral, dan batubara, salah. menjawab, karena larangan tersebut hanya diperuntukkan bagi pemegang IUP dan IUPK.
Ia juga menegaskan, izin pertambangan juga telah melalui kajian dari daerah hingga pusat. Padahal, IUP yang diterbitkan telah mendapat sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun.
Fakta uji coba, proses pengalihan IUP juga mendapat rekomendasi dari Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Tanah Bumbu yang menyatakan prosesnya sudah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditambah inisial dari Daerah. Sekretaris, Kepala Bagian Hukum, dan Kadistamben
Fakta peradilan menunjukkan bukti bahwa Mardani H. Maming selaku Bupati dan juga pejabat tata usaha negara mempunyai kewenangan atributif untuk menerbitkan IUP dan IUPK sebagaimana diatur dalam pasal 37 ayat 1 undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral, dan batubara, ujarnya. . dikatakan.
Prof Yos menjelaskan, dalam kasus yang melibatkan mantan Ketua BPP HIPMI yang saat itu menjabat Bupati, dialah yang memberi izin, bukan yang memegang izin.
Dengan demikian, Prof Yos Johan menilai putusan hakim tersebut bisa ditinjau kembali, karena Mardani H Maming diketahui sebagai pihak yang mengeluarkan izin tersebut dan tidak layak dijerat dengan tindak pidana sebagaimana diatur undang-undang.
Pendapat Prof Yos ini juga sesuai dengan hasil kajian atau informasi dari Fakultas Hukum Undip Semarang, Rabu (30/10/2024).
Adapun akademisi yang turut serta dalam penelitian adalah Prof. Retno Saraswati, SH, M.Hum yang melakukan penelitian dari perspektif Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH, M.Hum yang mengkaji dari perspektif Hukum Tata Negara. , Prof. Perspektif Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana.
Sementara itu, akademisi Prof Dr. Yunanto, SH, M.Hum memfokuskan kajiannya pada hukum perdata, dan Dr. Eri Agus Priyono, SH, M.Si juga melakukan kajian dari perspektif hukum perdata.
Dalam keterangan tersebut ditegaskan, majelis hakim diduga salah dalam menilai dan mengkonstruksi transaksi perdata yang melibatkan sejumlah perusahaan, seperti PT Prolindo Cipta Nusantara, dan PT Angsana Terminal Utama, sebagai bentuk kamuflase suap.
“Kajian analisis dan anotasi ini mengacu pada fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara Mardani H. Maming selama ini,” jelas Prof Dr Retno Saraswati yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Undip.
Retno menambahkan, tim peninjau anotasi menilai keputusan majelis hakim terhadap Mardani terkesan terburu-buru dan tidak berdasarkan fakta yang akurat.
Berdasarkan analisis tim anotasi, tidak ada bukti konkrit yang menunjukkan adanya kejanggalan dalam transaksi yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut, kata Retno Saraswati.
Kajian yang dilakukan Guru Besar Hukum Undip ini menghadirkan persepsi baru di tengah gejolak hukum di Indonesia.
Terungkapnya kasus Zarof memperkuat keberadaan makelar kasus yang tidak hanya bertujuan untuk membebaskan, namun sebaliknya juga dapat bertujuan untuk menghukum terdakwa yang sebenarnya tidak bersalah, seperti kasus Mardani H Maming, sehingga sudah sepantasnya bagi Mahkamah Agung. Hakim Pengadilan. untuk memperbaiki putusan dalam Peninjauan Kembali. ()
NewsRoom.id