– Di antara sederet kisah sedih perjuangan Melda Safitri yang bercerai sebelum suaminya sukses, ada satu momen yang paling menyayat hati, kenangan pahit di malam suci Ramadhan.
Kisah ini bukan sekedar tentang kekurangan harta, namun tentang ketidakmampuan seorang ibu dalam memenuhi keinginan sederhana anaknya.
Melda mengatakan, kesulitan ekonomi yang dialami keluarganya mencapai puncaknya menjelang Ramadhan. Di saat tradisi mengharuskan keluarga memasak hidangan khusus—terutama daging—untuk menyambut puasa, Melda harus menghadapi kenyataan menyakitkan.
Biasanya sehari sebelum Ramadhan dirayakan disebut memasak daging, kata Melda.
Namun, alih-alih menyajikan hidangan khusus, ia harus menyajikan makanan yang sangat sederhana. Di malam pertama sahur, saat keluarga lain makan dengan gembira, Melda dan anak-anaknya hanya bisa makan:
“…dia dan anak-anak hanya makan nasi sambal karena tidak ada bahan lain.”
Permintaan Polos yang Merobek Hati
Kesedihan Melda semakin tak tertahankan ketika salah satu anaknya yang masih polos menyadari perbedaan sahurnya dengan yang lain. Permintaan sederhana sang anak menjadi belati yang menusuk hati Melda.
“Dan anak itu berkata, 'Bu, ayam,' katanya,” kenang Melda.
Tak kuasa berbohong, Melda hanya bisa menenangkan anaknya dengan harapan palsu.
“Kalau begitu tunggu ayah pulang, ayah pulang, jadi bawakan ayamnya.”
Momen ini melambangkan puncak keterpurukan mereka. Seorang ibu yang selama ini bersusah payah berjualan cabai dan tidur di jalanan, tak mampu menyediakan lauk pauk yang layak di momen suci ini. Perjuangan terasa sia-sia, tak mampu melindungi anak-anaknya dari pahitnya kesadaran akan kemiskinan.
Kisah Melda Safitri menegaskan bahwa penderitaan terberat dalam kemiskinan seringkali dirasakan bukan oleh diri sendiri, melainkan melalui permintaan tulus dari mata polos seorang anak yang merindukan sepotong ayam di meja makan.
Kenangan menyakitkan yang kini harus ditanggung Melda menjadi pengingat betapa berharganya setiap rezeki yang diperjuangkannya.
NewsRoom.id









