Parkir liar sudah lama menjadi ancaman menakutkan bagi pengguna jalan di Jakarta. Tak hanya memakan ruas jalan dan menimbulkan kemacetan, keberadaannya juga kerap diwarnai dengan praktik pungutan liar (pungli) dengan tarif yang tidak wajar. Pengguna kendaraan seringkali terpaksa membayar berkali-kali lipat dari tarif resmi parkir, tanpa adanya jaminan keamanan kendaraannya yang diparkir.
Banyak cerita pilu yang beredar mengenai tarif “gila” parkir liar. Pengguna sepeda motor bisa dikenakan biaya hingga Rp 10.000, sedangkan mobil bisa mencapai Rp 20.000 atau lebih, hanya untuk parkir sebentar. Modusnya beragam, mulai dari meminta uang muka terlebih dahulu hingga mencegat dan memaksa pengguna jalan membayar saat meninggalkan lokasi parkir.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebenarnya sudah berupaya menertibkan parkir liar. Operasi gabungan yang melibatkan Dinas Perhubungan, Satpol PP, dan kepolisian rutin digelar di berbagai titik rawan parkir liar. Kendaraan yang parkir sembarangan akan diderek, dan juru parkir liar yang tertangkap akan diberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Namun upaya pengendalian tersebut tampaknya belum cukup efektif. Parkir liar masih banyak terjadi di berbagai sudut kota, terutama di pusat perbelanjaan, pasar tradisional, dan kawasan perkantoran. Terbatasnya tempat parkir resmi dan rendahnya kesadaran masyarakat menjadi faktor yang membuat praktik ini masih berlangsung.
Ke depan, Pemprov DKI Jakarta perlu meningkatkan intensitas penindakan dan memberikan sanksi yang lebih tegas bagi pelaku parkir liar. Selain itu, penyediaan tempat parkir yang memadai dan terjangkau, serta sosialisasi yang berkelanjutan kepada masyarakat mengenai bahaya dan kerugian akibat parkir liar juga perlu dioptimalkan. Dengan langkah komprehensif tersebut, diharapkan Jakarta bisa terbebas dari praktik parkir liar yang meresahkan.
Agensi Digital JetMedia
NewsRoom.id