KOTA ACEH – Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Hidup Aceh (HAkA) mencatat 36 kasus perdagangan satwa liar terjadi di Aceh sepanjang tahun 2020–2024. Dari jumlah itu, Kabupaten Bener Meriah menjadi wilayah dengan kasus terbanyak dibandingkan wilayah lain di provinsi tersebut.
Koordinator Investigasi dan Penegakan Hukum Yayasan HAkA, Tezar Pahlevie mengatakan, jaringan perdagangan satwa liar di Aceh beroperasi secara terorganisir di seluruh negara dan melibatkan banyak pihak.
Iklan
“Selama 2020-2024, kami mencatat 36 kasus perdagangan satwa liar di Aceh, dengan total 73 terdakwa yang telah diadili. Lima kabupaten dengan kasus terbanyak adalah Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Aceh Tenggara,” kata Tezar saat menjadi narasumber pelatihan hukum lingkungan hidup bagi jurnalis di Aula PN Banda Aceh, Kamis (6/11/2025).
Iklan
Menurut Tezar, Gayo Lues juga merupakan daerah dengan tingkat perburuan liar yang tinggi. Di sana, berburu satwa liar bahkan sudah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat.
“Banyak pelaku yang mempunyai kemampuan menguliti dan mengolah bagian tubuh hewan, khususnya harimau,” ujarnya.
Iklan
Berdasarkan hasil analisis HAkA, sekitar 86 persen kasus yang ditemukan sudah memasuki tahap perdagangan, bukan sekedar perburuan liar. Produk hewani yang paling banyak diperdagangkan adalah kulit dan bagian tubuh harimau sumatera, yaitu 38 persen dari total kasus.
Empat spesies kunci di Kawasan Ekosistem Leuser – harimau, gajah, orangutan, dan badak sumatera – disebut-sebut menjadi sasaran utama para pelaku. Dalam tiga tahun terakhir, setidaknya 30 orangutan sumatera diselundupkan dari Aceh ke Thailand, yang berfungsi sebagai tempat transit sebelum dikirim ke negara-negara Asia dan Timur Tengah lainnya.
“Aceh menjadi sumber pasokan karena memiliki hutan yang luas dan kaya akan satwa liar. Beberapa kasus menunjukkan jalur penyelundupan dari Aceh Tamiang ke Thailand melalui Selat Malaka, kemudian berlanjut ke Myanmar dan Timur Tengah,” jelas Tezar.
Dalam skala global, perdagangan ilegal satwa liar kini menjadi kejahatan terorganisir terbesar keempat di dunia, dengan kerugian mencapai 7 hingga 30 miliar dolar AS per tahun. Kejahatan ini telah menyebar ke 165 negara dan seringkali bersinggungan dengan penyelundupan narkotika dan perdagangan lintas batas lainnya.
Tezar mengatakan lemahnya hukuman menjadi salah satu penyebab kejahatan ini terus terulang. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, hukuman bagi pelaku seringkali hanya 1-2 tahun penjara. Namun, UU No. UU 32 Tahun 2024 yang baru disahkan memberi harapan dengan hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun.
“Pelaku menganggap ini sebagai kejahatan yang berisiko rendah dan menghasilkan keuntungan besar. Oleh karena itu, hukuman yang berat dan penegakan hukum yang kuat menjadi kunci utama,” ujarnya.
Yayasan HAkA juga merekomendasikan lima langkah strategis untuk mengatasi masalah ini: penguatan aparat penegak hukum (APH), penggunaan teknologi pemantauan, pendidikan masyarakat, keterlibatan masyarakat lokal, dan kerja sama internasional.
“Kejahatan ini bersifat rahasia dan sulit dilacak karena menggunakan komunikasi terenkripsi seperti WhatsApp. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang luar biasa untuk menanganinya,” tegas Tezar. ()
NewsRoom.id









