– Pernyataan Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi kembali menuai perdebatan publik.
Dalam klarifikasi terbarunya, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika era Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu membantah anggapan Projo merupakan singkatan dari Pro-Jokowi'. Namun jejak digital justru menunjukkan sebaliknya.
Budi Arie menegaskan, istilah Projo bukanlah bentuk dukungan pribadi terhadap sosok Jokowi, melainkan sebuah kata yang memiliki makna lebih luas dan filosofis.
“Projo dalam bahasa Sansekerta berarti ‘negara’, dan dalam bahasa Jawa Kawi berarti ‘rakyat’. Jadi orang Projo adalah orang-orang yang cinta tanah air dan rakyatnya,” kata Budi Arie.
Ia menambahkan, persepsi masyarakat yang menyamakan Projo dengan “Pro Jokowi” muncul semata-mata karena kebiasaan media.
“Sebenarnya tidak ada singkatannya. Teman-teman media hanya menyingkat Projo dengan sebutan 'pro Jokowi' karena mudah diucapkan,” kata Budi.
Namun klarifikasi tersebut langsung terganjal jejak digital pada 2018. Dalam video lama yang kembali viral, Budi Arie justru dengan gamblang menyebut Projo memang singkatan dari “Pro Jokowi”.
“Yang jelas Projo pro Jokowi. Kalau Projo tidak pro Jokowi, Projo tidak ada artinya,” kata Budi Arie dalam keterangannya tujuh tahun lalu.
Kontradiksi ini langsung menuai gelombang kritik di media sosial. Banyak warganet yang menilai Budi Arie berupaya memoles kembali narasi lama demi beradaptasi dengan arah politik baru di bawah pemerintahan Prabowo Subianto.
“Anomali politik sekali. Jejak digital masih ada, klarifikasi malah janggal,” tulis akun Instagram @kementerian_kurangajar yang mengunggah video lawas Budi Arie.
Panen Kritik Netizen
Kolom komentar dipenuhi sindiran tajam dari pengguna media sosial yang menuding Budi Arie plin-plan dan tidak konsisten.
“Mungkin dia mengidap penyakit usia tua,” tulis akun @willycahy***
“Aku sangat menikmati menjilat ludahku sendiri,” menimpali @wai_***
“gelandangan politik” sebutkan pengguna @agoyp***
“Hasil ternak nakhoda kita tok de tok,” tambah @syaifullah.ikh***
Pernyataan terbaru Budi Arie mencerminkan fenomena klasik dalam politik Indonesia di mana loyalitas organisasi dan narasi perjuangan mudah berubah mengikuti arah ‘angin’ kekuasaan.
Meskipun masyarakat mungkin masih bisa memaafkan kenangan palsu, jejak digital tampaknya tidak bisa. Dan kali ini, jejaklah yang justru berbicara lebih lantang dibandingkan klarifikasi Ketua Projo.***
NewsRoom.id








