– Sejak ditetapkan sebagai tersangka korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar) pada Senin 6 Oktober 2025, Halim Kalla, adik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Direktur Utama PT Bakti Resa Nusa (BRN) dan kawan-kawan belum juga dimasukkan ke sel tahanan.
Tiga tersangka lainnya adalah Fahmi Mochtar, Direktur Utama PLN 2008-2009; RR, Direktur PT BRN; dan Hartanto Yohanes Liem, Presiden Direktur PT Praba Indopersada.
Wakil Direktur Penindakan Korps Pemberantasan Korupsi (Kortastipidkor) Polri Kombes Bhakti Eri Nurmansyah mengatakan, pihaknya masih memperkuat keterangan saksi, dokumen, dan data sebelum memanggil tersangka.
Nanti tersangka akan kita panggil, kemudian bila diperlukan kita bisa melakukan penahanan, kata Bhakti, dikutip Sabtu (11/1/2025).
Peran Halim Kalla
Direktur Penindakan KPK Polri Brigjen Totok Suharyanto mengungkap peran Halim Kalla dalam kasus ini. FM selaku Dirut PLN telah sepakat untuk memenangkan salah satu calon dengan tersangka HK dan tersangka RR sebagai PT BRN dengan tujuan memenangkan lelang PLTU 1 Kalbar, ujarnya kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).
Brigjen Totok menjelaskan, proses penyidikan perkara telah dilakukan sejak tahun 2024. Sebanyak 65 orang saksi dan 5 orang ahli telah diperiksa penyidik untuk memperjelas perkara tersebut.
Polisi juga menerima laporan hasil pemeriksaan penyidikan perhitungan kerugian negara dari BPK, dimana kerugian negara berupa kerugian total senilai USD 62.410.523,20 dan Rp. 323.199.898.518.
Hasil penelusuran, pada tahun 2008 PT PLN kembali menggelar tender pekerjaan konstruksi pembangkit listrik tenaga uap PLTU 1 Kalimantan Barat dengan kapasitas keluaran 2×50 MW.
Proyek ini dibangun di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat
Selanjutnya dalam lelang diketahui Panitia Pengadaan atas arahan Direktur Utama PLN tersangka FM lolos dan memenangkan KSO BRN – Alton – OJSC padahal tidak ada syarat teknis dan administrasi, ujarnya.
Perusahaan Alton – OJSC diduga kuat bukan bagian dari KSO yang dibentuk dan dipimpin oleh PT BRN.
Pada tahun 2009, sebelum kontrak ditandatangani, KSO BRN mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada dengan Direktur Utama tersangka HYL dengan kesepakatan memberikan fee kepada PT BRN.
Kemudian, HYL diberi hak menjadi pemegang keuangan KSO BRN. “Dalam hal ini diketahui PT Praba juga tidak mempunyai kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalimantan Barat. Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 telah dilakukan penandatanganan kontrak oleh tersangka FM selaku Direktur PLN dengan tersangka RR selaku Direktur PT BRN dengan nilai kontrak sebesar 80.848.341 USD dan 507.424.168.000 atau total kurs saat itu sebesar Rp 1,254 triliun,” ujarnya. menjelaskan.
Dijelaskannya, tanggal efektif kontrak adalah 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian 28 Februari 2012.
Di akhir kontrak, KSO BRN dan PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 pekerjaan, kemudian dilakukan 10 kali amandemen dan final tanggal 31 Desember 2018.
Faktanya, pekerjaan terhenti sejak tahun 2016 dengan output pekerjaan sebesar 85,56 persen. Jadi, PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta USD, ujarnya.
Kasus ini merupakan pengambilalihan dari Polda Kalimantan Barat yang telah melakukan penyidikan sejak tahun 2021. Kemudian, kasus korupsi tersebut dilimpahkan ke Bareskrim Polri pada Mei 2024.
NewsRoom.id









