– Polemik seputar komik Pandji Pragiwaksono yang dinilai menyinggung adat dan budaya Toraja mendapat beragam respons. Namun di tengah derasnya tuntutan sanksi adat dan kemarahan masyarakat, muncul suara teduh dari tokoh akademisi Toraja, Dr. Y. Paonganan (Ongen), cucu Puang Dian (Mengkendek Tana Toraja).
Dengan penuh hikmah, Paonganan mengingatkan bahwa hakikat adat Toraja bukanlah menghukum, melainkan menyembuhkan, merangkul dan mengajarkan cinta.
Setahu saya adat Toraja itu penuh kasih sayang, tidak otoriter. Kalau Pandji memang paham adat Toraja, saya rasa dia tidak akan melakukan itu.
Pernyataan tersebut sontak menjadi perbincangan masyarakat Toraja, apalagi di tengah panasnya suasana menyusul video Pandji yang dinilai menghina tradisi Rambu Solo.
Beberapa kelompok adat bahkan mendesak agar Pandji dikenakan “denda adat”, suatu bentuk sanksi sosial yang dikenal dalam sistem hukum adat Toraja.
Namun bagi Paonganan, pendekatan tersebut bukanlah cerminan sebenarnya dari “adat lembang”, sebuah sistem nilai warisan nenek moyang Toraja yang menjunjung tinggi kehormatan, cinta dan keseimbangan.
Paonganan menegaskan, Puang Dian dikenal sebagai sosok bijak yang mengajarkan pentingnya cinta kasih dalam setiap tindakan adat.
“Kakek saya, Puang Dian, selalu mengajarkan kepada saya bahwa adat bukanlah alat untuk merendahkan, tapi untuk menebus kesalahan. Jika ada yang berbuat salah dan sudah meminta maaf, maka nilai tertinggi adalah memaafkan. Itulah kehormatan masyarakat Toraja yang sesungguhnya,” jelasnya.
Ia menilai munculnya tuntutan sanksi adat berpotensi menimbulkan persepsi negatif terhadap adat Toraja, seolah-olah adat hanya berfungsi untuk menghukum atau mempermalukan orang lain.
Padahal, kata dia, adat istiadat Toraja sebenarnya merupakan cerminan nilai spiritual yang mendalam, dimana manusia dan sesamanya ditempatkan dalam hubungan saling menghormati dan mencintai.
“Toraja itu soal cinta, bukan amarah. Kita diajarkan untuk menghormati tamu, memahami perbedaan, dan tidak menghakimi. Pandji sudah meminta maaf. Mari kita tunjukkan bahwa masyarakat Toraja lebih besar dari sekedar reaksi emosional,” imbuhnya.
Bagi Paonganan, kejadian ini hendaknya dijadikan momentum pendidikan nasional, kesempatan memperkenalkan filosofi dan nilai luhur adat Toraja kepada masyarakat luas.
Padahal, ini adalah momen untuk mensosialisasikan adat Toraja ke seluruh Indonesia. Banyak pihak luar yang belum memahami betapa dalam dan indahnya falsafah hidup masyarakat Toraja. Jangan jadikan momen ini untuk marah-marah, tapi untuk mengenalkan cinta, katanya.
Ia mengajak para tokoh adat, akademisi, dan generasi muda Toraja untuk menjadikan polemik ini sebagai pintu masuk dialog budaya, bukan konflik.
Menurutnya, masyarakat modern seringkali memandang adat istiadat hanya dari segi ritual seperti upacara Rambu Solo' atau Ma'nene, tanpa memahami nilai moral yang mendasarinya: persaudaraan, cinta kasih, dan menghargai kehidupan.
“Kalau hanya melihat adat istiadat upacaranya, masyarakat hanya memahami kulitnya saja. Namun jika kita tunjukkan nilai-nilai cinta dan hormat yang menjadi semangatnya, maka masyarakat akan jatuh cinta dengan adat Toraja,” jelasnya.
Pernyataan Paonganan diakhiri dengan kalimat sederhana namun menggugah: “Toraja itu CINTA.”
Baginya, ketiga kata tersebut bukan sekadar slogan, melainkan cerminan esensi kehidupan Toraja yang diwariskan secara turun temurun, bahwa segala sesuatu harus dilandasi cinta.
Nilai tersebut, lanjutnya, bahkan telah tertanam dalam struktur adat dan kepercayaan masyarakat Toraja sejak masa prakolonial, di mana prinsip “sangulean” (persaudaraan) dan “tang merambu” (keseimbangan) menjadi landasan dalam segala tindakan sosial dan ritual.
“Cinta adalah hakikat adat Toraja. Jika kita kehilangan cinta, maka adat istiadat kehilangan maknanya,” pungkas Paonganan.
Pandji sebelumnya menyinggung mahalnya biaya pelaksanaan pemakaman menurut adat Toraja.
“Di Toraja, tidak akan ada yang tahu, kalau ada anggota keluarga yang meninggal maka pesta pemakamannya diadakan di pesta yang sangat mahal. Benar kan? Malah banyak masyarakat Toraja yang jatuh miskin setelah mengadakan pesta pemakaman keluarganya dan banyak juga yang tidak punya uang untuk pemakaman akhirnya meninggalkan jenazah seperti itu,” kata Pandji dalam video yang beredar di media sosial.
NewsRoom.id










