Oleh: Erizal
TAMPAKNYA Joko Widodo alias Jokowi ingin mencontoh Jusuf Kalla (JK). JK pun memaafkan Silfester Matutina dalam kasus pencemaran nama baik, namun proses hukum tetap berjalan. Bahkan sampai ke Mahkamah Agung untuk kasasi dan dinyatakan bersalah.
Sayangnya hukum tidak berdaya mengeksekusi Silfester selama hampir tujuh tahun, dan hingga saat ini.
Jokowi juga akan memaafkan tersangka kasus ijazah, namun proses hukum tetap berjalan. Hanya saja tidak semuanya, kecuali Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma alias Dokter Tifa (RRT).
Kasus pencemaran nama baik yang dilakukan Jokowi tidak seperti kasus JK yang murni pencemaran nama baik. Sebaliknya, artikel-artikelnya berlapis-lapis. RRT bahkan terancam hukuman 12 tahun penjara.
Maka tak salah jika Roy Suryo menyebut Jokowi jahat. Karena itu terlihat dari penerapan artikelnya. Sangat jauh jika dibandingkan JK melawan Silfester.
Jokowi tidak bisa mengatakan bahwa dia sedang memberikan pelajaran. Tapi lebih tepatnya, balas dendam, pembunuhan. Rencana memaafkan bisa diartikan hanya menutupi niat awal.
Apalagi kasus Jokowi hanya sebatas kasus ijazahnya, yang juga sudah berkali-kali ia gunakan untuk menjadi Wali Kota, Gubernur, dan Presiden. Sudah memenjarakan dua orang juga.
Artinya, ijazah tersebut tidak ada gunanya lagi, jika memang benar-benar asli. Tinggal membuktikannya saja, seperti yang sudah dicontohkan dengan sangat baik oleh Arsul Sani.
Arsul Sani yang tak sebanyak Jokowi dari republik ini hanya membeberkan ijazahnya di depan umum dan tidak melaporkan kembali kepada pelapor.
Bukan Cuma Jokowi, Anak dan Menantunya Dapat Segalanya, Kok Masih Mau Penjarakan Warga?
Seharusnya bukan Jokowi yang memaafkan para tersangka, termasuk RRT. Namun, seharusnya Jokowi yang meminta maaf karena telah emosional melaporkannya dengan pasal berlapis, hanya karena ijazahnya sudah habis masa berlakunya, jika memang benar ijazah Jokowi tersebut benar-benar asli.
Tidak ada seorang pun yang bisa mengatakan ijazah seseorang palsu, termasuk RRT, jika ijazahnya asli.
Tidak ada penelitian canggih yang dapat membalikkan hal tersebut. Jokowi harus sadar, kecurigaan masyarakat terhadap ijazahnya bermula dari dirinya sendiri. Soal Pak Kasmudjo, IPK, foto yang berbeda dari yang lain, misalnya.
Bisa dibilang, ide Jokowi untuk memaafkan para tersangka sudah terlambat, setelah sampai sejauh ini.
Kecuali jika gagasan memaafkan itu dibarengi dengan penarikan laporan dan juga dibarengi dengan pembukaan ijazah secara sukarela dan siapapun yang ingin mengujinya dipersilakan untuk mengujinya.
Yakinlah, yang asli akan tetap asli, begitu pula sebaliknya. RRT tidak akan mampu membalikkan keadaan.
Maka wajar pula jika, karena terlambat, masyarakat menduga gagasan memaafkan adalah strategi untuk menutupi kebenaran ijazah yang sebenarnya.
Bayangkan, meski sebuah ijazah asli, orang sulit mempercayainya, apalagi jika benar-benar palsu. Itu semua karena permainan politik Jokowi, namun Jokowi justru menuding ada pihak lain yang memainkannya. Siapa yang harus dipercaya?
Direktur Penelitian & Konsultasi ABC
NewsRoom.id









