– Seorang kakek berusia 71 tahun bernama Masir kini terancam hukuman dua tahun penjara.
Hanya karena menarik burung cicik di kawasan Taman Nasional Baluran, Situbondo.
Tuntutan tersebut dibacakan Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Situbondo dan langsung menyedot perhatian masyarakat karena dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan sosial.
Masir didakwa melanggar Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem karena menangkap satwa yang masuk kategori dilindungi.
Meski tidak ada unsur perdagangan besar-besaran atau jaringan kejahatan terhadap satwa liar, jaksa tetap menuntut hukuman maksimal dua tahun penjara.
Kejaksaan Negeri Situbondo berdalih pendekatan restorative justice tidak bisa diterapkan dalam kasus ini.
Menurut jaksa, Masir sudah lima kali ditangkap dalam kasus serupa.
Fakta tersebut dijadikan dasar bahwa terdakwa dianggap tidak jera dan layak dijatuhi hukuman penjara agar memberikan efek jera.
Namun alasan tersebut justru menuai kritik keras.
Banyak pihak yang mempertanyakan logika penegakan hukum yang terkesan kaku dan tidak berempati dengan kondisi sosial terdakwa.
Konon Masir memikat burung bukan untuk kepentingan komersial besar, melainkan demi kelangsungan hidup.
Bukannya dibina atau diberi solusi ekonomi, ia malah dihadapkan pada ancaman penjara di hari tuanya.

Kasus ini membuka kembali luka lama terkait ketimpangan penegakan hukum di Indonesia. Masyarakat memandang undang-undang ini terlalu tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Di saat kasus-kasus besar seperti pembalakan liar, perdagangan hewan skala industri, dan perusakan kawasan konservasi oleh korporasi seringkali berlarut-larut tanpa kejelasan.
Seorang kakek sebenarnya dihukum berat karena seekor burung.
Kritik juga ditujukan pada pendekatan konservasi yang dianggap gagal menyentuh akar permasalahan.
Penduduk di sekitar kawasan konservasi seringkali hidup berdampingan dengan hutan tanpa alternatif ekonomi yang layak.
Ketika mereka menghadapi kasus hukum, negara hadir bukan sebagai pembina, melainkan sebagai penghukum.
Masir kini harus menunggu keputusan hakim dengan kondisi fisiknya yang semakin lemah.
Ancaman hukuman dua tahun penjara bagi lansia menimbulkan pertanyaan serius mengenai kemanusiaan sistem peradilan.
Banyak pihak menilai hukuman ini bukan hanya berlebihan, tapi juga mencerminkan kegagalan negara dalam memberikan keadilan yang berimbang.
Kasus Masir menjadi simbol ironi penegakan hukum konservasi, dimana perlindungan satwa dilakukan tanpa perlindungan terhadap manusia kecil di sekitarnya.
Jika pendekatan seperti ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin hukum akan semakin kehilangan legitimasinya di mata masyarakat bawah.***
NewsRoom.id









