Oleh: Rusdianto Samawa
Tugas berat Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni adalah pengelolaan hutan. Jika gagal, berarti lambang gajah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) harus diubah. Gajah tersebut mati di habitatnya (rumahnya) yaitu hutan. Sebab, Menteri Kehutanan tidak paham dengan rumah gajah tersebut. Artinya PSI bisa saja mati pada tahun 2029 dan seterusnya.
Bung Raja, agar gajah dan seluruh makhluk hidup di hutan tidak mati, diperlukan langkah berani untuk membatalkan seluruh izin pengusahaan lahan yang telah dirampok dan dibakar oleh oligarki yang rakus, korup, dan korup.
Bung Raja tentu memahami dan mengamalkan kepahlawanan pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Saat berada di masjid keraton, melakukan revolusi mental sekaligus membimbing umat keluar dari keburukan spiritualitasnya, yaitu mengubah arah shalat menghadap ke timur bukannya menghadap ke barat.
Bung Raja, jika memaknai perintah Presiden Prabowo Subianto dan tindakan heroik Ahmad Dahlan, maka gajah di rumahnya tidak akan mati. Kepahlawanan Raja juga mendapatkan momentumnya sebagai seorang pemuda pemberani.
Padahal, lambang PSI menjadi representasi semangat ketabahan Raja Juli Antoni. Jika semangat ini mati sebelum gajah lestari di alam, maka semua gajah akan mati di kawasan hutan yang dikuasai oligarki akibat kebijakan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang tidak pro lingkungan hidup dan lingkungan masyarakat.
Bukan suatu kebetulan jika para pengawas PSI adalah para penggarap hutan oligarki yang diberi konsesi lahan melalui mekanisme Proyek Strategis Nasional (PSN).
Akankah keberanian Raja Juli Antoni berpihak pada Presiden Prabowo Subianto dengan menyambut hutan untuk kemanusiaan dengan semangat kepahlawanan Ahmad Dahlan atau justru bertekuk lutut pada para penggarap oligarki hutan yang rakus dan korup?
Yang terpenting, Raja Juli Antoni mengambil sikap tegas dan berani menata hutan Indonesia. Bukalah baju PSI dan gantikan dengan baju Ahmad Dahlan yang menanamkan nilai keberanian mengubah haluan dan peta jalan kehutanan sebagai dakwah Muhammadiyah.
Bung Raja, penting untuk mengambil langkah cepat dan tepat dengan sikap tegas. Catatan penting yang perlu diingat; Filosofi “gajah mati” berpusat pada ukuran perilaku manusia, terutama perilaku berharga yang meninggalkan warisan atau jejak kaki setelah kematian, seperti gading (sesuatu yang berharga), belang (karakteristik), atau nama (reputasi/jasa), yang mencerminkan perbuatan atau nilai yang diwariskan.
Bung Raja, harus menjadi antitesis dari peternak oligarki agar bencana di kemudian hari bisa dicegah. Sebab cerminan tanggung jawab manusia sebagai khalifatullah fil ardi' harus meninggalkan dampak baik bagi dunia, seperti menjaga lingkungan.
Bung Raja, arti umum dari peribahasa : “Gajah mati meninggalkan gadingnya, harimau mati meninggalkan belangnya, orang mati meninggalkan namanya.” Makna utamanya adalah setiap makhluk akan dikenang karena sesuatu yang bernilai atau berkarakter; orang dikenang karena reputasi, pelayanan, atau perbuatan baiknya.
Bung Raja, kamu pusat perhatian dunia dan arti dari “Gajah mati karena gadingnya”. Seringkali kelebihan atau kelebihan yang dimiliki seseorang justru bisa menjadi sumber masalah atau kesusahan baginya. Karena kiblatnya tidak lurus.
Solusinya adalah dengan melepas baju PSI dalam pengambilan kebijakan dan keluar dari sandera warisan para pemulia oligarki agar kita bisa mendorong kebijakan-kebijakan yang baik dan meninggalkan nilai-nilai positif, agar kita selalu dikenang dan hutan bermanfaat bagi generasi mendatang.
Hikmah dan keagungan Raja Juli Antonie dalam menyelamatkan: “Gajah Sebelum Mati” melambangkan kekuatan, ketenangan dan kewibawaan sehingga dapat mengajarkan manusia untuk bergerak bersama, tidak gegabah, tidak serakah, dan setia pada manusia dan alam sehingga menjadi simbol kekuatan sejati.
Bung Raja, tentang tanggung jawab lingkungan: dalam konteks modern, “gajah mati” dapat menjadi pengingat akan nasib makhluk hidup di alam liar, termasuk manusia sebagai penyangga hutan akibat perilaku perburuan dan perusakan habitat. Jadi, penting bagi Anda untuk membatalkan seluruh izin konsesi lahan industri ekstraktif.
Hikmah: dari gajah yang berjalan menjauh hingga mati sendirian dianggap menunjukkan kerendahan hati dan kasih sayang agar tidak menimbulkan masalah pada kawanannya, mengajarkan kita tentang harga diri dan kepedulian terhadap sesama.
Secara keseluruhan, “filosofi gajah mati” merupakan ajakan untuk melakukan refleksi terhadap makna hidup, warisan yang ditinggalkan, serta dampak dari kelebihan dan kekurangan seseorang, baik secara pribadi maupun sosial.
Keputusan ada di tangan dan tangan untuk membatalkan izin konsesi lahan bagi industri ekstraktif yang merusak. Apalagi yang berkuasa adalah oligarki yang destruktif, pencuri, korup, dan pengkhianat. Kalau PSI ingin aman dari cibiran rakyat. Silakan.
Aktif dalam Forum Partisipasi Lingkungan Pesisir, Ketua Front Nelayan Indonesia (FNI)
NewsRoom.id









