– Di tengah penanganan bencana alam di Sumatera, warga dari beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Barat (Sumbar) menyampaikan surat gugatan warga.
Gugatan tersebut diajukan oleh Tim Advokasi Keadilan Ekologis sebagai kuasa hukum para korban bencana di Padang, Agam, Tanah Datar dan Solok.
Menurut penggugat, terdapat dugaan kelalaian negara dalam mencegah dan menangani bencana ekologi yang terjadi sejak akhir November lalu.
Mereka menilai, bencana alam yang memakan 990 korban jiwa di Sumatera, termasuk 241 korban jiwa di Sumatera Barat, bukanlah bencana yang terjadi semata-mata karena faktor cuaca atau alam.
“Bencana yang menimpa 3 provinsi di Sumatera, termasuk Sumatera Barat, tidak bisa kita anggap sebagai bencana tahunan karena faktor alam saja, melainkan bencana terencana akibat eksploitasi kawasan hutan secara brutal dan tanpa adanya evaluasi dan pengawasan,” ujar Adrizal selaku perwakilan Tim Advokasi Keadilan Ekologis.
Ia mengatakan, laporan Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar setiap tahunnya menunjukkan adanya lonjakan laju deforestasi di Sumbar.
Ia menegaskan, kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut tanpa adanya evaluasi menyeluruh. Sebab, jika terus berlanjut maka akan semakin banyak orang yang menjadi korban.
Kejahatan sistematis juga bisa kita lihat dalam bencana ekologi ini ketika pemerintah memberikan izin kepada pemilik modal secara sembarangan, tidak ada konsekuensi jika ditemukan pelanggaran, lanjut Adrizal.
“Jadi akibat kelalaian ini ratusan orang meninggal dunia, ratusan fasilitas umum terdampak, ribuan orang luka-luka, dan ratusan rumah hancur,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan berbagai kejadian menggambarkan betapa lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup.
Ia juga menyebutkan beberapa kasus seperti penembakan antar anggota polisi terkait dengan dukungan penambangan liar di Solok Selatan, kasus penambangan liar di Lubuak Matuang, dan aktivitas penambangan liar di Desa Sungai Abu Solok.
“Pengalihan tanggung jawab antara daerah dan pusat bukan hanya tidak etis, tapi juga meningkatkan risiko bagi warga negara. Keselamatan masyarakat tidak boleh dihitung hanya dengan logika ekonomi. Pembangunan harus tunduk pada batasan ekologis. Tanpa itu, kita hanya mengulang siklus bencana dan korban setiap tahunnya,” imbuhnya.
Ia juga menegaskan, gugatan yang diajukan warga Sumbar dilakukan setelah 10 hari mengabaikan imbauan masyarakat melalui YLBHI-LBH di Sumbar.
Panggilan tersebut meminta agar pemerintah menetapkan status bencana nasional, namun tidak ada tanggapan. Padahal, data BPBD Sumbar menunjukkan dampak bencana alam sangat dahsyat.
NewsRoom.id









