NEWSROOM.ID, Jakarta – Bursa Komoditi Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) kembali menggelar konferensi timah internasional (Indonesia Tin Conference) 2022 yang dilaksanakan di Grand Hyatt, Jakarta pada Rabu, 19 Oktober 2022.
Tema besar pada Indonesia Tin Conference 2022 adalah Indonesian Tin Outlook yang membahas mengenai perkembangan industri timah di Indonesia khususnya di tengah rencana pemerintah terkait larangan ekspor timah pada 2023 nanti.
“Acara ini sangat ditunggu-tunggu tidak hanya oleh anggota kami yang merupakan penjual dan pembeli timah, namun juga para pelaku industri yang menggunakan timah sebagai salah satu komponen utama produksi atau end user. Indonesia sebagai penghasil timah terbesar nomor dua di dunia, memiliki peran penting terhadap pasokan timah dunia,” kata Direktur ICDX Nursalam.
Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32/M-DAG/PER/6 Tahun 2013 tentang Tata Niaga Ekspor Timah Batangan (Ingot) harus melalui Bursa Timah, sejak ditransaksikan melalui Bursa ICDX, harga timah Indonesia terus mengalami kenaikan. Bahkan pada awal tahun 2022 mencapai USD49.950/metrik ton. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peran besar sebagai price maker timah dunia.
“Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki komoditi terbesar di dunia. Jika kita melihat kinerja perdagangan komoditi 2021-2022, Indonesia mengalami komoditi supercycle yang berdampak pada harga komoditi Indonesia. Komoditi ini harus kita urus dengan baik karena berkontribusi terhadap surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar USD34,9 miliar. Sebagai salah satu penghasil timah di dunia, nilai ekspor timah Indonesia tahun 2018, 2019 hingga 2021 mengalami peningkatan yang signifikan,” kata Plt. Kepala BAPPEBTI Didid Noordiatmoko dalam sambutannya di acara ITC 2022.
Diketahui bahwa Indonesia memiliki cadangan timah terbesar nomor dua di dunia dan cadangan tersebut paling besar berada di Bangka Belitung. Provinsi Bangka Belitung merupakan penyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terbesar selama empat tahun terakhir yaitu sebesar Rp2,6 Triliun. Hal tersebut membuat timah menjadi salah satu komoditi yang memberikan dampak begitu besar terutama terhadap perekonomian nasional.
Sementara itu, Penjabat (Pj.) Gubernur Bangka Belitung Ridwan Djamaluddin mengatakan, Bangka Belitung selama ini disokong perekonomiannya dari timah, tentu akan memberikan dampak besar apabila larangan ekspor timah diberlakukan.
“Timah sudah menjadi penggerak utama perekonomian kami di Bangka Belitung. Terlebih lagi di masa pandemi, Sumber Daya Alam ini memberikan kontribusi yang begitu besar. Rencana pemerintah untuk menghentikan perdagangan ekspor Timah Indonesia tentu akan berdampak pada pendapatan negara, khususnya ekonomi daerah Bangka Belitung.” kata Ridwan.
Dalam tahun 2025-2035, pemerintah akan melakukan perkembangan industri timah di Indonesia. Pengembangan ini ditujukan agar timah Indonesia dapat dimanfaatkan dengan lebih maksimal sehingga dapat menghasilkan produk yang lebih hilir.
Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menjelaskan, potensi pengembangan industri timah ke depan sangat besar. Timah menjadi salah satu logam yang berpengaruh positif dari peningkatan penggunaan teknologi hijau, mengingat perannya di berbagai produk elektronik maupun ketenagalistrikan cukup besar. Oleh sebab itu hilirisasi menjadi kunci bagi Indonesia untuk bisa memaksimalkan pemanfaatan timah tersebut, terutama untuk ketahanan ekonomi nasional.
“Pemerintah melalui Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) untuk komoditas timah bersiap untuk menghasilkan produk baru timah.” kata Josua. (LBY)