NewsRoom.id -Alasan menariknya adalah Prof Henri Subiakto tidak setuju Starlink bisa beroperasi di Indonesia. Starlink berpotensi membuat bangkrut perusahaan nasional di bidang telekomunikasi dan penyedia layanan internet seperti grup Telkom dan Indosat.
“Starlink juga dapat digunakan oleh kekuatan separatis seperti KKB/OPM dan lainnya untuk berkomunikasi tanpa terdeteksi oleh negara atau pemerintah Indonesia. “Starlink berpotensi memecah belah NKRI,” kata Guru Besar Ilmu Komunikasi Airlangga itu. Universitas dalam artikel berjudul Starlink Berbahaya bagi Indonesia.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Artikel Prof Henry yang mengulas operasional Starlink di Indonesia cukup panjang. Tulisannya ia bagikan di akun X miliknya, Senin (20/5). Editor menghubungi Prof Henri dan diizinkan mengutipnya.
Starlink adalah layanan internet berbasis satelit milik Elon Musk. Resmi beroperasi di Indonesia setelah diluncurkan Elon Musk bersama beberapa menteri di salah satu Puskesmas di Denpasar, Bali, Minggu (19/5).
Prof Henri mengatakan Starlink banyak digunakan oleh negara-negara satelit atau pendukung Amerika Serikat. Satelit Starlink memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan satelit biasa seperti Palapa, Satria, Kacific, Telkom 1, dan satelit Eropa dan Amerika lainnya di luar Starlink.
Starlink menggunakan satelit orbit rendah bumi yang beroperasi pada ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 km di atas permukaan bumi. Ada ribuan Starlink kecil yang dirancang untuk bekerja sama secara sinkron untuk menyediakan layanan internet. Mereka seperti menerbangkan BTS.
Satelit komunikasi konvensional ditempatkan pada orbit geostasioner (GEO) kira-kira 35.786 km di atas ekuator bumi, pada titik yang relatif tetap di permukaan bumi. Untuk dapat melayani masyarakat diperlukan peralatan stasiun bumi.
“Setiap satelit Starlink memiliki berat sekitar 260 kg. “Satelit GEO berukuran lebih besar dan mahal karena teknologi dan peralatannya lebih kompleks, serta kebutuhan untuk bertahan di orbit yang lebih tinggi,” jelas pria berusia 15 tahun kelahiran Yogyakarta, 29 Maret 1962 ini. Menteri Komunikasi dan Informatika.
Ia menambahkan, Starlink menggunakan teknologi array bertahap untuk antena yang memungkinkan satelit mengarahkan sinyal tanpa harus memindahkan satelit.
Sistem ini dirancang untuk latensi rendah dan kecepatan tinggi. Alat penangkap sinyal satelit hanya menggunakan antena kecil dan alat seukuran laptop besar yang dapat dipindah-pindahkan. Berbeda dengan satelit GEO yang harus menggunakan antena tetap berukuran besar untuk komunikasi berkapasitas tinggi.
Oleh karena itu, satelit konvensional memerlukan mitra untuk menyalurkan layanannya kepada masyarakat.
“Itulah perusahaan operator seluler dan ISP yang menjadi mitra,” ujarnya lagi.
Berbeda dengan Starlink yang dikembangkan pada tahun 2015 oleh SpaceX, perusahaan ternama yang didirikan oleh Elon Musk. Mereka tidak membutuhkan mitra dan bisa langsung melayani masyarakat tanpa pihak ketiga.
Oleh karena itu, menurut Prof Henri, masuknya Starlink bisa menjadi awal matinya perusahaan nasional di bidang internet, seluler, dan satelit.
Menurut Prof Henri, Starlink bukan sekadar perusahaan peralatan dan jasa satelit, namun juga berfungsi sebagai perusahaan penyedia layanan internet. Bahkan bisa berfungsi sebagai platform digital mengingat Elon Musk juga memiliki perusahaan X (dulu Twitter) yang kini tidak hanya sekedar media sosial, namun bertujuan menjadi platform media komunikasi.
Inilah bahayanya. Lalu lintas dan konten korporat Starlink berada di luar jangkauan yurisdiksi nasional, kedaulatan digital, dan otoritas hukum, serta dapat digunakan untuk menantang kedaulatan negara dan mengancam keamanan nasional, lanjutnya.
Perusahaan Starlink sebagai perusahaan Amerika dilindungi oleh US Cloud Act 2018. Data yang mereka kumpulkan tidak dapat diakses oleh negara lain, termasuk Indonesia, namun harus terbuka untuk pemerintah dan penegak hukum Paman Sam.
Jika Starlink melayani Papua atau wilayah konflik lainnya, datanya dapat diakses oleh intelijen dan pemerintah AS untuk kepentingan politiknya. Di sisi lain, pemerintah Indonesia tidak bisa mengakses data tersebut.
Karena itulah Starlink berbahaya bagi NKRI, ketika melayani wilayah pegunungan dan pedalaman Papua. Pertanyaannya, apakah Starlink bersedia mematuhi hukum Indonesia atau hukum Amerika? tanya Prof Henri.
Apa yang terjadi di Ukraina adalah contohnya. Starlink digunakan oleh tentara Ukraina melawan Rusia. Rusia kewalahan karena pergerakan pasukannya bisa diawasi oleh tentara Ukraina.
Lalu bagaimana jadinya jika OPM/KKB juga menggunakan fasilitas Starlink? Apalagi jika gerakan tersebut didukung oleh asing, siapa yang bertanggung jawab jika gerakan tersebut menjadi lebih besar, canggih dan mampu melawan TNI/Polri atau pasukan negara, jelas Prof Henry.
Internet murah yang bisa menjangkau pelosok tentunya harus didukung. Tapi Anda harus memikirkan konsekuensinya.
“Sebaiknya Elon setuju dan berkomitmen untuk mematuhi hukum Indonesia. Lalu wilayah pelayanannya tidak mencakup wilayah rawan seperti Papua? Apakah Elon Musk mau? Silakan bertanya kepada mereka,” kata Prof Henry.
NewsRoom.id