NewsRoom.id – Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyebut masyarakat salah paham terhadap program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Menurut dia, mekanisme pendanaan Tapera bukan dengan pemotongan gaji atau iuran melainkan tabungan wajib.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
“Jadi, saya ingin tegaskan bahwa tapera ini bukanlah pengurangan gaji atau iuran.
Tapera itu tabungan, kata Moeldoko dalam jumpa pers di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Moeldoko mengatakan, tabungan Tapera nantinya bisa ditarik ketika sudah mencapai usia pensiun, begitu pula dengan hasil pemupukannya.
Mantan Panglima TNI ini mengatakan, undang-undang mewajibkan program Tapera untuk menyediakan perumahan bagi setiap warga negara.
“Bagaimana dengan mereka yang sudah punya rumah? Apakah Anda harus membangun rumah?”, katanya.
Moeldoko meminta masyarakat memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan perumahan.
Ia meminta masyarakat tidak perlu khawatir karena masih ada waktu hingga tahun 2027 untuk berkonsultasi.
“Ke depan, pemerintah akan mengedepankan komunikasi dan dialog dengan masyarakat dan dunia usaha.
“Kita masih punya waktu sampai tahun 2027, jadi ada kesempatan untuk berkonsultasi, jangan khawatir,” imbuhnya.
Dalam sistem pengawasan pengelolaan dana program ini, pemerintah juga membentuk Komite Tapera dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Selanjutnya, membangun sistem pengawasan untuk memastikan dana dikelola dengan baik, akuntabel, dan transparan. “Kami hadirkan OJK, di situ ada komite tapi OJK juga punya fungsi pengawasan,” kata Moeldoko.
Komite Tapera nantinya akan diketuai oleh Menteri PUPR yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Tenaga Kerja dan Profesi.
Moeldoko mengatakan, pemerintah telah membentuk komite untuk mengawasi agar Tapera tidak menjadi seperti ASABRI yang menjadi ladang korupsi.
Oke, ini yang ingin saya sampaikan kepada teman-teman, jangan sampai terjadi hal seperti Asabri, ujarnya.
Menurut dia, ASABRI beroperasi tanpa pengawasan.
Saat masih menjabat Panglima TNI, ASABRI belum bisa disentuhnya meski uang yang dikumpulkan ASABRI berasal dari 500 ribu prajurit yang dipimpinnya.
“Ini uang tentara saya, saya tidak tahu ini seperti apa, bayangkan. Panglima TNI yang punya 500 ribu prajurit tak kuasa menyentuh ASABRI. “Pada akhirnya kami tidak memahami kejadian seperti kemarin,” ujarnya.
Dengan terbentuknya Komite Tapera, Moeldoko yakin pengelolaannya akan lebih transparan dan akuntabel.
“Tidak boleh ada yang salah karena seluruh investasi yang akan dilakukan sebenarnya harus dikontrol dengan baik. Minimal oleh panitia dan OJK secara umum,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat pada 20 Mei 2024.
Dalam beleid tersebut, seluruh pekerja baik PNS, TNI, Polri, BUMN, hingga pekerja swasta wajib mengikuti program Tapera dengan mekanisme pengurangan gaji sebesar 3 persen.
Simulasi pembayarannya dibagi dua penanggung jawab, yakni 2,5 persen dari gaji pekerja dan 0,5 persen dibebankan ke perusahaan.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mempertanyakan mekanisme kepemilikan rumah bagi buruh dengan perhitungan seperti itu.
“Dari akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (yang dibayar pengusaha 0,5 persen dan pekerja 2,5 persen) tidak akan cukup bagi pekerja untuk membeli rumah di usia pensiun atau saat terkena PHK,” tegas Iqbal. , Jumat (31/5/2024).
Apalagi berdasarkan data Partai Buruh, kata dia, rata-rata upah pekerja Indonesia adalah Rp3,5 juta per bulan.
Jika gaji atau upahnya dipotong 3 persen per bulan, kata dia, maka iurannya sekitar 105.000 per bulan atau Rp. 1.260.000 per tahun.
Iqbal menyatakan Tapera merupakan salah satu bentuk tabungan sosial yang jika dihitung dalam 10 hingga 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000.
“Pertanyaan besarnya, apakah harga rumah akan mencapai 12,6 juta dalam 10 tahun ke depan atau 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan?” Kalaupun ditambah keuntungan usaha dari simpanan sosial Tapera, tidak mungkin pekerja bisa menggunakan uang yang terkumpul untuk memilikinya. sebuah rumah,” tanya Said Iqbal.
Karena itu, Said Iqbal menilai penghitungan 3 persen kepemilikan rumah yang diambil melalui Tapera tidak mungkin dilakukan.
Ia lantas menilai program Tapera saat ini sangat tidak tepat dengan perhitungan seperti itu.
“Jadi dengan iuran 3 persen yang ditujukan untuk menjamin pekerja punya rumah, mustahil pekerja dan peserta Tapera bisa punya rumah,” ujarnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, kata Said Iqbal, ke depan program ini hanya akan menimbulkan kesengsaraan bagi para pekerja yang lelah bekerja namun tidak mendapatkan apa-apa.
Pasalnya, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) masih masif di beberapa lini usaha di Indonesia
NewsRoom.id