NewsRoom.id – Penangkapan salah satu anggota Densus 88 saat memantau Jampidsus Jaksa Agung Febrie Ardiansyah.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Selain penangkapan salah satu anggota Densus, seorang purnawirawan jenderal polisi juga terlibat.
Bahkan Hanifa Sutrisna yang merupakan Ketua National Corruption Watch mengatakan, pihaknya mendapat informasi ada lebih dari satu purnawirawan jenderal polisi yang terlibat.
Menanggapi keterlibatan aparat dalam kasus timah ini, Irjen Polisi (Purn) Ansyaad Mbai yang merupakan mantan Kepala BNPT atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia angkat bicara.
Dalam wawancara di televisi swasta, mantan Komandan Densus 88 ini mengungkap skenario keterlibatan Jenderal B dalam kasus timah dan menyebut hal itu hanya sekedar pengalihan perhatian.
Mantan Komandan Densus 88 periode 2011 – 2014 ini juga mengatakan, kasus pertambangan Timan tidak lepas dari pergantian kewenangan pertambangan.
Selain itu, menurut dia, keterlibatan dan penangkapan anggota Densus 88 saat memata-matai Jampidsus Kejaksaan Agung membuat senior Densus 88 marah dan mempertanyakan siapa yang menggunakan aset tersebut.
Menurut Irjen Polisi (Purn) Ansyaad, permasalahan penambangan timah bukanlah sesuatu yang baru, dimana setiap operasi selalu dikaitkan dengan pergantian tauke atau mafia yang membidangi penambangan timah.
“Dari yang saya lihat, muncul touke baru sebagai otoritas dalam pengelolaan sumber daya alam,” jelasnya.
Irjen Polisi (Purn) Ansyaad juga mengatakan, pergantian touke juga seiring dengan pergantian penguasa politik.
“Ini bukan hanya terjadi kali ini saja, tapi sudah terjadi di masa lalu dan kejadian ini juga akan terjadi di pertambangan lain seperti batu bara dan nikel,” jelasnya.
Sementara menurut mantan Komandan Densus 88 itu, penyebutan Jenderal B yang muncul hanya sekedar selingan saja.
Persoalan sebenarnya adalah pergantian aktor touke antara Kejaksaan Agung dan Mabes Polri, imbuhnya.
Irjen Polisi (Purn) Ansyaad pun mengatakan, saat memanggil Kapolri dan Kejaksaan Agung, hal tersebut kemudian dirahasiakan dan menyatakan tidak ada masalah antara kedua institusi.
Masih dengan Irjen Polisi (Purn) Ansyaad, meski di tingkat atas tidak ada masalah, namun di tingkat bawah bisa dikatakan 'kerusakan sudah terjadi'.
Meski kerugian yang terungkap mencapai Rp300 triliun, namun kerugian paling berat menimpa Densus 88 dari kasus ini.
Sementara terkait pengawasan yang dilakukan salah satu anggota Densus 88, menurut Irjen Polisi (Purn) Ansyaad, korbannya hanya dua kali lebih banyak.
“Dia tahu itu bukan perintah resmi, tapi dia melihat yang memberi perintah lebih berkuasa,” imbuhnya.
Soleman Ponto yang merupakan mantan KSAL atau Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Angkatan Laut juga mengatakan hal serupa, menurutnya ada dua pihak yang bisa memberi perintah, antara lain atasan langsung dan pihak lainnya.
Selain itu, yang bisa memerintah seseorang dan intelijen yang sering melaksanakan perintah adalah mereka yang punya uang, tambahnya.
Ponto menjelaskan, hal ini terjadi dimana-mana karena operasi intelijen membutuhkan biaya dalam suatu operasi.
Dalam menggerakkan atau memerintahkan intelijen untuk melakukan operasi spionase, menurut Ponto, hal itu bisa dilakukan langsung oleh aparat intelijen.
Dengan demikian, tindakan mata-mata tersebut mungkin tidak berdasarkan perintah atasan.
NewsRoom.id