NewsRoom.id – Sri Sultan Hamengkubuwono
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Sejak kecil, sudah ada tradisi di Keraton Yogyakarta yang mengharuskan anak laki-laki yang disunat segera meninggalkan Keraton.
Mereka harus hidup mandiri di luar Keraton Yogyakarta, hanya dibantu oleh pembantu yang ditunjuk.
Kondisi inilah yang membuat Sultan Hamengkubuwono
Namun semua itu berubah ketika pada tahun 1967, Sri Sultan HB X diminta membantu ayahnya menjalankan tugasnya di Jakarta.
Prestasinya terus meningkat ketika ia mendapat gelar Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi pada tahun 1974 yang berarti ia akan menggantikan ayahnya sebagai penerus Keraton Yogyakarta.
Mengingat kenangan bersama ayahnya, Sultan HB
Sultan berkesempatan diwawancarai oleh program televisi Net, Satu Indonesia.
Di sana, Sultan bercerita tentang cara dirinya berkomunikasi dengan ayahnya yang dianggap eksentrik.
Lahir dan besar di Keraton Yogyakarta yang sarat dengan budaya Jawa, ternyata Sultan menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan ayahnya.
“Setelah saya besar, saya bantu beliau pada tahun 1965 hingga 1978, di sana saya banyak berdiskusi (dengan Sultan HB IX),” kata Sultan HB
“Saya dan Almarhum (Sri Sultan HB IX) tidak bisa berbahasa Jawa, tapi bahasa Indonesia.” Sultan menambahkan.
“Kalau pakai bahasa Jawa ada gapnya. Karena bahasa Jawa ada tingkatannya, jadi ada gap dalam membangun komunikasi antara anak dan ayah.”
“Tapi bahasa Indonesianya jauh lebih fasih kan?” Sultan HB
Memang dalam bahasa Jawa ada aturan khusus dalam berbicara dengan orang yang lebih tua.
Misalnya untuk kata “rumah” sendiri terdapat 2 kata yang berbeda yaitu “wangsul” dan “kondur”.
Wangsul hanya digunakan untuk teman dekat saja, seperti teman bermain atau teman kerja.
Sedangkan kondur digunakan ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, atau misalnya atasan kerja untuk menunjukkan kesopanan. Padahal, keduanya berarti “pulang”. ***
NewsRoom.id