NewsRoom.id – Bill Gates membahas fakta baru tentang tanda-tanda 'kiamat' di Bumi yang makin nyata di blognya Februari lalu. Dan ternyata, Indonesia disebut-sebut dalam diskusi itu.
Pendiri Microsoft ini mengungkapkan fakta bahwa setiap tahunnya, aktivitas di Bumi menghasilkan 51 miliar ton gas rumah kaca. Sebanyak 7% berasal dari produksi lemak dan minyak hewani dan nabati.
“Untuk memerangi perubahan iklim, kita harus mengubah angka itu menjadi nol,” ujarnya dikutip dari blog pribadinya, Sabtu (29/6/2024).
Lebih jauh, Gates menyadari bahwa rencana untuk menghilangkan konsumsi lemak hewani bagi manusia tidaklah realistis. Sebab, manusia sudah bergantung pada lemak hewani karena alasan yang logis.
Lemak hewani menyimpan nutrisi dan kalori yang dibutuhkan manusia. Namun, ada cara untuk memanen lemak tanpa menghasilkan emisi, menyiksa hewan, dan memproduksi bahan kimia berbahaya.
Solusinya ditemukan oleh perusahaan rintisan bernama 'Savor', di mana ia juga menjadi investornya.
Rasa gurih menghasilkan lemak dari suatu proses yang melibatkan karbon dioksida dari udara dan hidrogen dari air. Senyawa tersebut kemudian dipanaskan dan dioksidasi, memisahkan komponen asam yang menghasilkan formulasi lemak.
Gates mengklaim lemak yang dihasilkan memiliki molekul serupa dengan yang ditemukan dalam susu, keju, daging sapi, dan minyak sayur.
Kelapa Sawit dan Indonesia
Selain produksi lemak hewani yang merusak lingkungan, Gates juga menyoroti faktor yang dampaknya lebih besar, yaitu minyak sawit.
“Saat ini, minyak kelapa sawit merupakan lemak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Sebagian dari minyak kelapa sawit ditemukan dalam makanan sehari-hari seperti kue, mi instan, krimer kopi, makanan beku, bahkan kosmetik, sabun, pasta gigi, deterjen, deodoran, makanan kucing, susu formula, dan sebagainya. Bahkan minyak kelapa sawit juga digunakan untuk biofuel dan mesin diesel,” katanya.
Gates menegaskan, permasalahan minyak sawit bukan pada penggunaannya, namun pada cara produksinya. Kebanyakan jenis minyak sawit asli Afrika Barat dan Tengah tidak tumbuh di banyak wilayah. Pohon itu hanya tumbuh dengan baik di tempat yang dilewati garis khatulistiwa.
“Hal ini menyebabkan penggundulan hutan di wilayah ekuator untuk mengubahnya menjadi perkebunan kelapa sawit,” kata Gates.
Proses ini berdampak negatif terhadap keanekaragaman alam dan berdampak besar terhadap perubahan iklim. Pembakaran hutan menimbulkan banyak emisi ke atmosfer dan menyebabkan peningkatan suhu.
“Pada tahun 2018, kerusakan di Malaysia dan Indonesia saja sudah cukup parah hingga mencapai 1,4% emisi global. Jumlah itu lebih besar dari seluruh negara bagian California dan hampir seluruh industri penerbangan global,” kata Gates.
Sayangnya, Gates mengakui peran kelapa sawit sulit tergantikan. Sebab, komoditas kelapa sawit murah, tidak berbau, dan melimpah.
“Minyak sawit juga merupakan satu-satunya minyak nabati dengan kandungan lemak jenuh dan lemak tak jenuh yang hampir seimbang, itulah sebabnya minyak sawit sangat serbaguna. Meskipun lemak hewani merupakan bahan utama dalam beberapa makanan, minyak sawit adalah sebuah tim yang dapat bekerja sama untuk membuat hampir semua makanan dan non-makanan menjadi lebih baik,” jelas Gates.
Oleh karena itu, Gates mengatakan sudah ada perusahaan yang berupaya mengatasi hal tersebut. Salah satunya adalah C16 Biosciences yang mencoba menciptakan alternatif pengganti minyak sawit.
Sejak 2017, Gates mengatakan C16 telah mengembangkan produk dari mikroba ragi liar menggunakan proses fermentasi yang tidak menghasilkan emisi sama sekali.
Meski secara kimia berbeda dengan minyak sawit konvensional, minyak C16 mengandung asam lemak yang sama, sehingga dapat digunakan untuk aplikasi serupa.
NewsRoom.id