OLEH: ROY SURYO*
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
MUNGKIN judul di atas terkesan hiperbolik bagi sebagian orang. Terutama bagi mereka yang pola pikirnya masih sama dengan para pejabat di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang hingga saat ini – meski sudah berkali-kali diingatkan – masih saja abai terhadap situasi dan kondisi data Indonesia yang selama ini tersaji begitu murahan di dunia maya.
Mengapa disebut “sangat murah”? Karena secara de facto, saat ini data tersebut telah ditawarkan untuk diunduh secara gratis sebagai contoh data asli jika ada yang berminat.
Mulai dari data nama penduduk secara rinci beserta alamat lengkap, NIK (Nomor Induk Kependudukan), NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), nomor telepon seluler pribadi, nomor kepesertaan BPJS, hingga NRP (Nomor Induk Kependudukan Primer) TNI-Polri dan identifikasi sidik jari. Semua sidik jari mulai ditawarkan di Darkweb.
Hal ini seiring dengan adanya aksi peretasan terhadap berbagai database seperti Dukcapil (Kependudukan dan Pencatatan Sipil), BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, INAFIS (Sistem Identifikasi Sidik Jari Otomatis Indonesia), hingga BAIS-TNI (Badan Aliansi Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia) lengkap dengan seluruh User-ID dan Password, dan sebagainya.
Semua data di atas kini tersedia di Darkweb dengan berbagai kriteria dan kisaran harga. Mulai dari 1.000 dolar AS hingga 7.000 dolar AS atau bahkan lebih, tergantung spesifikasi dan perlengkapannya.
Sungguh ironis, komentar-komentar netizen di dunia maya yang menyebut negara kita tercinta Indonesia sebagai Negara Open Source, negara yang semua sumber (data) bersifat terbuka, sungguh sangat menyakitkan dan memalukan bagi mereka yang sadar dan masih punya akal sehat, rasa nasionalisme dan semangat merah putih (yang tidak bisa ditawar-tawar) dalam membela negara.
Namun, bagi orang-orang yang tidak memiliki jiwa nasionalis, hal ini sangat disayangkan. Mereka tidak lagi memiliki karakter handarbeni (pemilik) republik ini. Mereka menganggap remeh kebocoran dan penyebaran data sebagai hal yang biasa atau setidaknya “tidak berbahaya” karena ketidaktahuan mereka.
Dimana salah satunya menganggapnya sebagai data “lama” dan tidak berguna, ujarnya. Contoh lain dari ketidaktahuannya adalah salah mengucapkan singkatan VM (Virtual Machine), sebagai FM (Firtual Machine?). Sebenarnya apa susahnya hanya membaca teks yang dibuat oleh stafnya.
Nah, sebenarnya petisi yang digaungkan SafeNet untuk mengusung bendera merah atau mencopot atau memberhentikan Menteri Komunikasi dan Informatika saat ini, Budi Arie Setiadi, merupakan bentuk perjuangan anak bangsa yang ingin mempertahankan tanah airnya dengan cara yang sama. cara nyata.
Ibaratnya kita ini penumpang bus, kita tahu pengemudinya tidak bisa mengendalikan kecepatan dengan aman dan bahkan membahayakan. Kita sudah diperingatkan tetapi tetap tidak mau tahu apa yang harus dilakukan, apalagi menyerah dan tidak tahu apa-apa. Lebih baik mundur dengan sopan atau digantikan.
Sebab jika tidak diganti maka seluruh penumpang bus akan terancam dan dirugikan, kecuali atasannya juga ikut terlibat.
Jika dilihat dari segi jumlah bola, “skor” yang dialami Indonesia saat ini yang diwakili oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, dari segi data ini sudah lebih dari Haultrick (0-7). Apalagi data terbaru juga sudah bocor dari One Door Kota Denpasar, BPJS Ketenagakerjaan, Ditjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan dan sebagainya.
Maka sangat wajar apabila seorang penjaga gawang yang kebobolan banyak gol diberi kartu merah, kecuali (sekali lagi) ia “bermain” dengan pelatih/manajer timnya agar saling tawar menawar atau menyandera satu sama lain.
Terbaru diterbitkan nama yang viral di Indonesia karena berhasil meretas data MyPertamina, IndiHome, Data Database Kartu SIM Kominfo, Surat Presiden, Data KPU dan lain sebagainya yaitu Bjorka.
Kemarin akun X/Twitter menulis bahwa ada seorang wanita Rusia yang katanya akan membuat kehebohan di sini. “Sebentar lagi akan ada seorang hacker bernama Stevania Mantiri. Dia dari Rusia. Akan memberi Anda kejutan besar!” katanya.
Bahkan dalam video yang diunggahnya, Bjorka juga menyebutkan ada rahasia yang tidak akan terungkap dan meminta Indonesia memeriksa sistem sibernya: “Kami anonim. Kami bisa menjadi siapa saja tanpa Anda sadari,” tulis Bjorka.
Apakah postingan di atas hanya dianggap “gertakan” dan diabaikan lagi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika? Saya sangat berharap tidak.
Sebab sebagaimana yang selalu saya sampaikan di berbagai forum dan media, proses enkripsi PDNs-2 di Surabaya kemarin hanya merupakan “entry point” dan “test the water” dari puncak gunung es data bencana tsunami yang akan dialami Indonesia.
Bisa dibayangkan tsunami data ini jika masyarakat merasa terganggu, seperti yang terjadi di imigrasi kemarin. Selain itu, antrean BBM mulai sulit karena data/barcode subsidi tidak bisa diakses. Di rumah sakit, ternyata Kartu BPJS Kesehatan sudah tidak dikenal lagi.
Kesimpulannya, jelas bahaya mengancam di depan mata kita. Seandainya Presiden Jokowi bisa berpidato bahwa “Data adalah Minyak Baru” dan memahami maknanya, tentu dalam pemanggilannya kepada Menteri Komunikasi dan Informatika bersama BSSN, Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menpan, BPKB dan Telkom kemarin juga harus bisa memberikan arahan untuk menyelamatkan Indonesia.
Jadi, kita tunggu saja sampai ada tindakan signifikan dari rezim yang berkuasa.
Artinya mereka benar-benar masih nasionalis atau sudah benar-benar pasrah menyerahkan segalanya (dijual atau digadaikan) kepada oligarki dan kepentingan asing. Data tersebut jelas tersebar karena “kebodohan” seperti yang diungkapkan Komisi I DPR RI kemarin.
Apakah Anda ingin menyimpannya jika sudah seperti ini?
*Penulis adalah Pengamat Telematika
NewsRoom.id