OLEH: ADIAN RADIATUS*
TAK seorang pun perlu terkejut lagi dengan tragedi demokrasi dan konstitusi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Termasuk pengunduran diri Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartanto yang seharusnya memimpin partai terbesar kedua di tanah air itu hingga Desember 2024.
Namun, kehidupan politik yang matang, bermartabat, dan berintegritas tampaknya makin sulit diwujudkan oleh masing-masing parpol pasca pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan sudah tahu seperti apa partainya dan mau dibawa ke mana, serta sudah paham, pada pertengahan September 2023. Sumber data intelijen menjadi dasar pernyataannya.
Sungguh ironis jika kepemimpinan presiden membawa kekuasaan ke arah kediktatoran meskipun secara tersembunyi. Sebab pelaksanaannya menjadi bias seperti sekarang.
Begitu garangnya sehingga terasa seolah-olah para pemimpin partai itu seperti “Pejabat Kabinet” bayangan untuk peran Presiden dan Jokowi. Nampaknya sangat, sangat dekat dengan itu. Diktator.
Maka apabila transisi presidensial tidak mampu menghilangkan perilaku ala Jokowi, maka dapat dipastikan bahwa dinamika 'stabilitas' politik yang selama ini kita saksikan hanyalah khayalan para petualang politik yang dapat berujung pada lahirnya revolusi besar dalam sistem ketatanegaraan kita.
Sebab tidak pernah ada kekuasaan absolut di tangan satu orang yang mampu mematikan demokrasi bagi ratusan juta orang.
Namun, Jokowi tak lagi bisa membersihkan diri dari stigma sebagai “sutradara” gejolak politik para elite yang memegang atau turut berkuasa pasca tiga periode, perpanjangan masa jabatan, dan berbagai “gangguan” yang berujung pada ‘putusnya tali persaudaraan’ dengan PDIP, khususnya Megawati Soekarnoputri.
Rakyat disuguhkan dengan drama politik dramatis yang tidak masuk akal dan dalam beberapa estetika politik sangat tidak senonoh.
Politik yang terus berputar di sekitar tarik menarik kekuasaan, mau tidak mau akan berdampak pada pergerakan ekonomi, hukum, dan sosial masyarakat yang makin bergejolak dalam dimensi tertentu.
Apa yang terjadi di Partai Golkar sungguh tidak dapat diterima akal sehat karena seharusnya berjalan normal dan wajar, apalagi pemilihan presiden dan legislatif telah berjalan dengan baik dan sukses sebagai bagian dari suksesi kelanjutan pengelolaan negara untuk rakyatnya sendiri. Apa yang dikhawatirkan bahkan ditakutkan Jokowi?
Pertanyaan terakhir, apakah Jokowi benar-benar menginginkan jabatan ketua Golkar? Apakah caranya hanya “pokrol bambu” yang halus seperti Kaesang Pangarep saat menjadi ketua PSI?
Bila benar demikian, bayang-bayang kerusakan fundamental politik Indonesia makin tampak jelas, meski korbannya kini adalah mundurnya Airlangga Hartanto yang dinilai sebagai kemunduran konstitusi politik Indonesia saat ini.
*(Penulis adalah pengamat sosial politik)
NewsRoom.id









