NewsRoom.id – Dokumen “Rekomendasi untuk SNDC yang Adil” menguraikan kelompok rentan yang terus menderita akibat dampak perubahan iklim dan tindakan untuk mengatasinya.
Padahal, bukan mereka yang menyebabkan perubahan iklim. Misalnya, masyarakat adat. Dalam dokumen sebelumnya, yaitu dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang terbit tahun 2022, Pemerintah telah menyatakan menjunjung tinggi kewajiban untuk menghormati dan memajukan hak asasi manusia dan hak masyarakat adat dalam menangani perubahan iklim.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Sayangnya, hal mendasar yang diminta tidak terpenuhi, yakni pengakuan dan perlindungan wilayah adat beserta segala hak yang melekat padanya. Badan Pendaftaran Wilayah Adat telah mendaftarkan wilayah adat secara mandiri seluas 30,2 juta ha, di mana 23,2 juta ha di antaranya merupakan hutan adat. Namun, selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, baru 1,1 persen hutan adat yang diakui, atau seluas hanya 265.250 hektare.
“Meskipun masyarakat adat hanya berjumlah 6,2 persen dari populasi global, mereka melindungi 80 persen keanekaragaman hayati dunia yang tersisa dan menjaga sepertiga hutan alam dunia yang tersisa,” kata Peneliti Advokasi dan Kebijakan WGII, Ihsan Maulana dalam keterangan yang diterima redaksi, Kamis (29/8).
Dari pesisir, hasil survei pandangan nelayan tradisional terhadap dampak perubahan iklim yang dilakukan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) tahun 2023 menggambarkan dampak perubahan iklim terhadap nelayan tradisional cukup signifikan.
Hasil survei menunjukkan bahwa 72 persen nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan, 83 persen nelayan mengalami penurunan keuntungan, dan 86 persen nelayan menyatakan perubahan iklim meningkatkan risiko kecelakaan.
“Situasi ini menunjukkan betapa krusialnya permasalahan yang dialami nelayan tradisional akibat perubahan iklim. Di saat negara sedang mengkampanyekan ikan sebagai sumber pangan bergizi, kondisi nelayan tradisional justru semakin terpuruk,” kata Hendra Wiguna selaku Ketua Umum Serikat Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia, badan otonom KNTI.
Bagi perempuan, kekeringan akibat perubahan iklim terbukti menjadi beban tambahan bagi upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan air dan pangan keluarga. Di Desa Kalikur dan Tobotani di Lembata, Nusa Tenggara Timur, perempuan harus berjalan berkilo-kilometer untuk mencari air.
Bagi perempuan Dayak Ngaju di Kabupaten Kapuas, perempuan tidak lagi menanam benih lokal yang lebih bergizi karena musim tanam tidak lagi sesuai dengan musim. Akhirnya, mereka harus membeli bahan makanan dari luar desa. Di daerah perkotaan, pengeluaran rumah tangga meningkat untuk membeli air bersih.
“Padahal, selain sebagai kelompok paling rentan, perempuan merupakan kelompok paling tangguh dalam menghadapi perubahan iklim,” ujar Koordinator Program Solidaritas Perempuan, Andriyeni.
Bagi penyandang disabilitas, perubahan iklim membuat mereka semakin rentan karena mereka menghadapi hambatan struktural dan diskriminasi akibat terbatasnya akses terhadap sumber daya dan informasi strategis.
“Ketika bencana iklim terjadi, penyandang disabilitas sering kali menjadi korban dari berbagai level, dengan angka kematian empat kali lebih tinggi karena kurangnya akses dan dukungan yang inklusif,” kata Koordinator Advokasi Perkumpulan Jiwa Sehat (PJS), Fatum Ade.
Menurut Masagus Fathan dari Climate Rangers Jakarta, komitmen nol emisi juga harus menyentuh keadilan antargenerasi melalui kemitraan berbasis masyarakat dan penyaluran dana.
Dokumen Laporan Sintesis IPCC 2023 menunjukkan bahwa dalam berbagai skenario, orang yang lahir pada tahun 1980-2020 akan menghadapi peningkatan suhu 0,5-3°C lebih tinggi daripada orang yang lahir pada tahun 1950-1980 sepanjang hidup mereka.
Pelaksana Tugas Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim pada Indonesian Environmental Law Center (ICEL) Syaharani menegaskan, transisi menuju energi terbarukan merupakan prasyarat awal terwujudnya keadilan iklim.
“Dokumen NDC kedua ini perlu menargetkan Indonesia untuk mencapai 60 persen energi terbarukan pada tahun 2030 sejalan dengan 1,5°C,” katanya.
Dari sisi perkotaan, Manajer Kampanye Perkotaan dan Polusi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Abdul Ghofar mengatakan, emisi sektor sampah pada periode 2015-2022 masuk dalam tiga besar dengan peningkatan emisi sebesar 33,47 persen dalam kurun waktu tujuh tahun, yakni dari emisi 97.539 gigaton karbon dioksida pada tahun 2015 menjadi 130.188 gigaton karbon dioksida ekuivalen (GtCO2e) pada tahun 2022.
“Pemerintah perlu melakukan upaya serius dan ambisius untuk mengurangi emisi di sektor persampahan, terutama fokus pada pengurangan emisi gas metana dari sampah padat domestik melalui pengurangan sampah organik ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan upaya lain seperti pelarangan pembakaran sampah secara terbuka, pembakaran tertutup pada PLTSa, serta pembakaran bersama pada PLTU dan pabrik semen,” terangnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad menegaskan bahwa perlindungan ekosistem di seluruh bentang alam harus menjadi prioritas dalam mengatasi krisis iklim.
Dalam ENDC, sektor kehutanan dan lahan (FOLU) menanggung 55 persen beban pengurangan emisi GRK Indonesia. Terakhir, sektor FOLU sering kali dipandang terutama sebagai penyerap atau penyerap karbon. Padahal, perannya jauh dari sekadar karbon.
“Upaya pengurangan emisi harus dilihat secara holistik dan berbasis ekosistem, tidak hanya menekankan aspek ekonomi karbon, tetapi bagaimana memastikan masyarakat memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di tengah krisis iklim,” kata Nadia.
Oleh karena itu, sebagai tanggapan terhadap krisis demokrasi dan iklim yang sedang terjadi di Indonesia, organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan segera dan tegas:
Pertama, jaga demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi: Koalisi mendesak pemerintah untuk melindungi prinsip-prinsip demokrasi, memastikan bahwa suara semua kelompok, terutama yang rentan, didengar dan dihormati dalam pengambilan keputusan terkait iklim. Selain itu, hentikan semua bentuk tindakan represif yang mencegah warga negara menyampaikan pendapat dan pandangan mereka.
Kedua, pengakuan dan perlindungan terhadap kelompok rentan: Koalisi mendesak pemerintah untuk mengakui dan melindungi hak dan kebutuhan kelompok rentan, termasuk interseksionalitasnya, dalam semua aksi iklim di Indonesia. Pengakuan dan perlindungan terhadap kelompok rentan harus dinyatakan dengan jelas dalam bagian “Transisi yang Adil” dari SNDC dan diintegrasikan ke dalam semua strategi dan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Ketiga, partisipasi publik yang bermakna: Koalisi mendesak pemerintah untuk melakukan partisipasi publik yang bermakna dalam semua proses dan tahapan aksi iklim di Indonesia, termasuk membangun mekanisme keterlibatan publik yang bermakna dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan turunan SNDC.
Keempat, aksi iklim yang adil: Koalisi mendesak pemerintah untuk memastikan bahwa semua aksi iklim memberikan manfaat yang lebih besar kepada kelompok rentan sekaligus memberikan beban pengurangan emisi yang lebih besar kepada mereka yang paling banyak mengeluarkan emisi, khususnya mereka yang memperoleh kemakmuran dari pelepasan emisi gas rumah kaca.
Kelima, komitmen pemulihan hak dan ruang hidup: Koalisi mendesak pemerintah untuk melengkapi komitmen iklimnya dengan strategi pemulihan ruang hidup dan hak kelompok rentan yang menjadi korban dampak perubahan iklim, aksi perubahan iklim, dan aktivitas pembangunan, serta memastikan penegakan hukum bagi pelaku perusak lingkungan hidup dan pelanggar hak asasi manusia, termasuk melalui revisi peraturan perundang-undangan yang memberikan impunitas bagi pelaku kejahatan dan pelanggaran lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
Keenam, adopsi pendekatan iklim terpadu: Koalisi mendesak pemerintah untuk mengadopsi pendekatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim terpadu yang berfokus pada ketahanan lanskap untuk memastikan hak atas ruang hidup yang aman dan berkelanjutan bagi semua.
NewsRoom.id