NewsRoom.id – Sebuah penelitian yang dilakukan tim ilmuwan dari Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Indonesia mengungkap bahwa manusia purba, Homo sapiens, pernah hidup di Raja Ampat, Papua Barat 55.000 tahun lalu.
Dikutip dari NewScientist, ini menunjukkan bahwa setidaknya manusia purba bermigrasi dari Asia ke Australia melalui Kalimantan, Sulawesi, lalu Papua.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Sejauh ini, ada dua kemungkinan rute untuk mencapai Australia. Rute yang melewati Kalimantan, Sulawesi, dan Papua adalah rute utara.
Sementara jalur selatan melewati Jawa, Bali, Timor, lalu ke Australia Utara menyeberangi lautan. Saat itu, Australia masih berupa benua purba Sahul yang memiliki wilayah daratan lebih luas.
Temuan tersebut dipublikasikan dalam Journal of Antiquity, Cambridge University Press, yang diterbitkan pada 13 Agustus 2024.
Penemuan jejak aktivitas manusia purba di Raja Ampat
Kesimpulan ini berdasarkan penemuan bukti jejak aktivitas manusia purba di Gua Mololo, Pulau Waigeo, Raja Ampat, Papua Barat.
Di sedimen dasar gua, tim ilmuwan menemukan bukti aktivitas manusia purba seperti arang, kerang, tulang hewan, dan beberapa pecahan batu.
Selain itu ditemukan pula potongan resin berukuran 1,4 sentimeter yang bentuknya bersudut-sudut.
Bentuknya menunjukkan bahwa ia dipotong dari pohon, bukan dirakit secara alami.
Dari penanggalan radiokarbon yang dilakukan oleh tim ilmuwan, ditemukan bahwa resin tersebut berusia setidaknya 55.000 tahun.
“Bahan ini sangat mudah terbakar dan merupakan sumber cahaya yang bagus di dalam gua,” kata salah satu peneliti, Dylan Gaffney.
Namun, kemungkinan ada kegunaan lain untuk resin pada saat itu, seperti sebagai pewangi atau perekat.
Apa pun kegunaannya, ini menunjukkan bahwa manusia telah hadir di Waigeo, Raja Ampat setidaknya 55.000 tahun yang lalu.
Sebagai keterampilan di hutan hujan
Resin ini merupakan resin paling awal yang digunakan oleh manusia purba di luar benua Afrika.
Seperti dilansir LiveScience, ini merujuk pada keterampilan rumit yang dikembangkan manusia purba untuk hidup di hutan hujan.
Sementara itu, Gua Mololo sendiri merupakan gua batu kapur raksasa yang dikelilingi hutan hujan tropis, membentang sedalam seratus meter dan menjadi habitat bagi kelelawar, ular, dan biawak.
Dalam bahasa Ambel setempat, Mololo berarti tempat bertemunya arus. Nama ini berasal dari perairan yang berombak dan pusaran air besar di selat di dekatnya.
Analisis mikroskopis elektron pemindaian menunjukkan bahwa artefak resin diproduksi dalam beberapa tahap.
Pertama, kulit pohon penghasil resin dipotong, kemudian resin dibiarkan menetes ke batang pohon dan mengeras. Resin yang mengeras kemudian dibentuk ulang.
Para ilmuwan juga menemukan tulang-tulang hewan di Gua Mololo yang menunjukkan manusia berburu burung, marsupial, dan kelelawar.
Meskipun Pulau Waigeo adalah rumah bagi hewan-hewan kecil yang sulit ditangkap, manusia telah beradaptasi dengan mengeksploitasi sumber daya hutan hujan dan makanan pesisir yang tersedia.
Para peneliti mengatakan bahwa meskipun telah melakukan penelitian secara ekstensif, mereka masih sangat sedikit mengetahui tentang sejarah manusia di Papua Barat. Penelitian tersebut dibatasi oleh krisis politik dan sosial di wilayah tersebut.
Namun yang mereka tekankan adalah mereka tahu orang Papua Barat masa awal sudah canggih dan mampu merancang solusi kreatif untuk hidup di pulau-pulau tropis kecil.
Penggalian yang sedang berlangsung bertujuan untuk memberikan informasi lebih lanjut tentang bagaimana manusia beradaptasi dengan perubahan iklim dan lingkungan di wilayah tersebut.
Selanjutnya, mereka berharap dapat memetakan arkeologi Papua Barat untuk memahami dari mana nenek moyang masyarakat Pasifik berasal dan bagaimana mereka beradaptasi dengan kehidupan di laut pulau baru.
NewsRoom.id