NewsRoom.id – Pada tanggal 30 September 1965, sejumlah perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibunuh. Sehari kemudian, dini hari pukul 07.00 WIB, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan kabar mengejutkan. Isinya, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) di bawah pimpinan Letkol Untung dan Resimen Cakrabirawa menggagalkan kudeta dewan jenderal.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Jurnalis senior Republika Alwi Shahab yang meninggal pada tahun 2020 pun turut merekam suasana saat itu. Berikut artikel yang dimuat di Harian Republika pada tahun 2015:
Kabar lainnya sepertinya sudah tidak terdengar lagi. Orang-orang fokus dan bertanya tentang berita. Saya mendengar beritanya di malam hari. Saat itu saya menghadiri pidato Presiden Sukarno di Istora Senayan pada pertemuan teknisi Angkatan Darat. Saya harus meliput acara tersebut karena itu adalah pekerjaan. Saat itu, saya adalah seorang jurnalis pemula.
Saat itu Bung Karno bercerita tentang pertempuran antara Pandawa dan Kurawa. Bung Karno menjelaskan, Arjuna dari pihak Pandawa awalnya tidak mau berperang dengan Korawa karena mereka bersaudara. Bagi Arjuna, rasanya mustahil menyerang saudaranya sendiri. Kurawa dan Pandawa berasal dari satu guru yaitu Drona.
Namun, kemudian Arjuna mendapat bisikan bahwa orang yang dilawannya adalah orang-orang yang telah berbuat jahat. Sekalipun kalian bersaudara, jika kalian melakukan sesuatu yang jahat, kalian harus menentangnya. Begitulah ucapan Bung Karno yang bergema di Istora saat itu. Bung Karno mengutip kisah perang Baratayuda. Inilah perang besar yang terjadi di suatu daerah bernama Kurukshetra yang terangkum dalam kisah Mahabarata.
Arjuna kemudian bertekad untuk berperang melawan Korawa. Dia akhirnya melepaskan anak panah untuk membunuh musuhnya. Perang ini dimenangkan oleh Pandawa.
Sebelum Bung Karno berpidato, saya mendengar kabar bahwa sang proklamator sedang sakit parah. Namun, suatu malam, awal Oktober 1965, ia menyampaikan pidato yang penuh semangat.
Sebelum terjadinya pembunuhan sejumlah petinggi Angkatan Darat, wartawan sempat mendengar kabar bahwa sejumlah jenderal mengkhawatirkan Bung Karno. Saya mendengar isu ini dari sejumlah jurnalis senior.
Isu ini semakin terdengar ketika RRI mengeluarkan istilah dewan umum. Mereka dilaporkan memiliki pasukan yang siap dikerahkan untuk melakukan kudeta terhadap pemimpin negara tersebut.
Tak mau kalah, PKI kemudian membentuk dewan revolusioner. Mereka meminta seluruh prajurit untuk mempertahankan dewan ini. Peringkat mereka akan dinaikkan satu tingkat. Namun pangkatnya tidak lebih tinggi dari letnan kolonel.
Perseteruan kedua dewan ini membuat Jakarta tegang. Bayangkan saja, ibu kota yang biasanya ramai beraktivitas 24 jam sehari, tiba-tiba dibatasi dengan jam malam. Masyarakat hanya diperbolehkan beraktivitas hingga pukul 18.00 WIB. Jika tidak, mereka harus tinggal di rumah. Anda tidak diperbolehkan meninggalkan rumah setelah waktu tersebut. Saluran telepon juga dimatikan untuk menjaga keamanan.
Mereka yang bisa beraktivitas di malam hari diberikan password yang berubah setiap hari. Saya ingat pada awal Oktober '65 malam saya harus menyampaikan pernyataan kepada pers dari Kodam Jaya. Sebelum keluar rumah, saya terlebih dahulu menghubungi seorang teman di marinir untuk meminta password malam itu. Kodenya misalnya prajurit akan minta waspada, maka jawabannya adalah waspada.
Nah, malam itu saya hendak keluar ke kawasan sekitar Lapangan Banteng, di jalan dekat Masjid Istiqlal mobil saya dihentikan oleh seorang tentara. Saya segera membuka jendela. Lalu, saya menyebutkan kata sandinya. Alhamdulillah, saya diizinkan lewat.
Saya kemudian mengambil keterangan pers yang selesai pada pukul 22.00 WIB. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa PKI dan organisasi pendukungnya akan dibubarkan.
Setelah itu saya pulang melalui Jl Kramat Raya. Sepanjang perjalanan, saya melihat situasi yang sangat sepi. Tidak ada mobil dan sepeda motor yang biasa memenuhi jalan tersebut. Jakarta saat itu sepi.
Di sekitar Jl Kramat Raya terdapat markas pengurus pusat PKI. Saya melihat kantor itu masih berdiri kokoh. Bendera palu arit masih berkibar. Inilah kantor termegah di Jl Kramat Raya. Beberapa hari kemudian, gedung itu dibakar massa. Kini gedung tersebut telah menjadi hotel berbintang.
Sejak era reformasi dimulai, kelompok eks PKI dan ormas pendukungnya sudah mengutarakan pendapatnya. Mereka mengaku tidak terlibat, lalu menuduh Soeharto menjodohkan Sukarno. Mereka juga menuntut kompensasi.
Kita harus kembali ke masa sebelum pemberontakan partai komunis ini terjadi. Pada tanggal 23 Mei 1965, PKI merayakan hari jadinya. Ratusan ribu massa merah menghadiri demonstrasi di Senayan. Mereka menunjukkan keperkasaannya sambil berteriak lantang, “Hidup PKI!…Hidup PKI!”
Selain itu, aksi massa yang cukup berbahaya dari manuver politik PKI adalah menggerakkan massa untuk melakukan berbagai aksi kekerasan yang dikenal dengan aksi sepihak. Mereka dengan tegas menyatakan permusuhannya terhadap kelompok Islam.
Buktinya adalah kejadian Kanigoro. PKI terang-terangan menyerang Pondok Pesantren al-Jauhar. Mereka menginjak-injak Alquran, menendang kiai tersebut, dan menyeretnya ke pos polisi. Kiai dihina sebagai setan desa.
PKI menyebut kelompok Islam tidak menyukai antek Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII). Ormas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang saat itu merupakan kekuatan tangguh dianggap sebagai musuh utama. HMI dianggap PKI tidak berhak eksis di Indonesia sehingga harus dibubarkan.
Beberapa hari sebelum pemberontakan, tokoh PKI Anwar Sanusi menyatakan ibu pertiwi sedang hamil besar. Pradi atau bidan siap melahirkan buah hati yang ditunggu-tunggu. Bayinya adalah PKI.
Di surat kabar saat itu PKI mengusulkan agar 15 juta buruh dan tani dipersenjatai sebagai kekuatan kelima. Jumlah penduduk Indonesia saat itu adalah 70 juta jiwa. TNI menentang hal ini. Menjelang tanggal 30 September, diadakan pelatihan bagi Gerwani dan pemuda setempat di Lubang Buaya. Alasannya adalah untuk meningkatkan konfrontasi dengan Malaysia.
Tokoh utama PKI, DN Aidit, menyatakan jika HMI tidak bisa dibubarkan, lebih baik pakai sarung tangan saja. Sejak saat itu, muncul gerakan untuk menumpas HMI. Sarungan adalah olok-olok Islam.
Aidit ditangkap pada tahun 1965 di Desa Samen, sebelah barat Solo. Dia kemudian membuat pengakuan setebal 50 halaman. Bagian pentingnya dimuat di surat kabar berbahasa Inggris Jepang, Asahi Evening News. Nama korespondennya adalah Risuke Hayashi.
Dalam surat kabar tersebut, Aidit menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling bertanggung jawab atas Gerakan 30 September yang menewaskan sejumlah petinggi Angkatan Darat.
Partai Komunis Indonesia (PKI) sengaja memilih tanggal 30 September sebagai tanggal kudeta. Semula ada yang mengusulkan tanggal 5 Oktober yang bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), namun dipercepat karena rencana tersebut bocor. Angkatan Darat dikabarkan sudah mengetahui rencana kudeta yang telah disiapkan.
Kemudian, orang kedua setelah Aidit, Lukman Njoto atau lebih dikenal Nyoto ditangkap. Surat kabar Asahi Shimbun mewawancarainya. Pada 30 September, Nyoto mengaku sedang bersama Wakil Perdana Menteri Subandrio. Kabar penculikan dan pembunuhan petinggi TNI AD itu ia dengar saat melakukan kunjungan kerja ke Pangkalan Brandan, Sumatera Utara.
Mereka ingin mengajak masyarakat Sumatera untuk bergabung dengan PKI. Mereka yakin masyarakat di sana bisa bersekutu dengan partai komunis. Mereka bahkan meyakini Sumatera akan menjadi basis PKI yang sangat besar.
Saat itu saya sedang mengikuti rombongan dari Kementerian Pembangunan Masyarakat Pedesaan. Menteri kemudian diberitahu bahwa DN Aidit telah ditembak mati. Saya mendengar beritanya. Tak lama kemudian, saya didatangi prajurit Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Dia menyuruhku untuk tidak membocorkan berita tentang Aidit yang ditembak mati.
Disadur dari Harian Republika edisi 23 November 2015. Alwi Shahab adalah jurnalis Republika sepanjang zaman. Dia meninggal pada tahun 2020.
NewsRoom.id