NewsRoom.id – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap norma Pasal 36 huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Selain dia, ada dua pegawai KPK yakni Lies Kartika Sari sebagai auditor muda KPK dan Maria Fransiska sebagai eksekutif di unit kesekretariatan pimpinan KPK yang mengajukan JR ke MK. Mereka mengajukan uji materiil terkait norma Pasal 37 UU KPK.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Menurut Alex, kedua pasal yang dimaksud bisa digunakan pihak luar untuk mengkriminalisasi pimpinan dan pegawai.
Alex mengatakan rumusan pasal tersebut belum jelas, padahal penjelasan UU KPK disebutkan cukup jelas.
Ketidakjelasan ini disebabkan adanya ketidakpastian mengenai batasan ketentuan normal Pasal 36 huruf a UU KPK. Selain itu, banyak juga kejanggalan norma pasal yang dimaksud.
“Apa urgensinya? “Bagi kami (pimpinan dan pegawai) pasal ini bisa dijadikan alat untuk mengkriminalisasi pimpinan dan pegawai KPK,” kata Alex kepada wartawan, Jumat (8/11/2024).
Pasal 36 huruf (a) UU KPK diketahui berbunyi: “Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara pidana korupsi yang ditangani KPK. alasan.”
“Dalam undang-undang disebutkan dilarang melakukan kontak langsung maupun tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara, dengan alasan apapun,” kata Alex.
“Dengan adanya tersangka, jelas kasusnya sudah dalam tahap penyidikan dan tersangkanya sudah ada. Tapi siapa pihak lainnya? Tidak ada penjelasannya, bisa jadi penegak hukum akan seenaknya,” imbuhnya. Pimpinan KPK berlatar belakang hakim.
Alex kemudian mempertanyakan penafsiran frasa “dengan alasan apapun” pada Pasal 36 huruf a dalam menjalankan tugasnya sebagai Pimpinan KPK.
Bagaimana jika dalam rangka menjalankan tugas? Bagaimana jika pertemuan/komunikasi tersebut dilakukan dengan itikad baik atau misalnya pada saat bertemu Anda tidak mengetahui status orang yang ditemui? kata Alex.
Kalau tidak ada pengecualian, berarti rapat yang diundang itu bermasalah, padahal tidak ada hal penting yang dibicarakan, lanjutnya.
Alex menilai perlu ada penjelasan terkait konteks pertemuan yang dimaksud dalam pasal tersebut.
Misalnya saja menimbulkan konflik kepentingan atau tertundanya penanganan perkara di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Lebih lanjut, Alex juga menyebut hanya aparat penegak hukum dan pegawai KPK yang tidak memahami inti dari dua pasal yang digugatnya.
Sehingga, lanjutnya, pertemuan dengan siapapun yang terkait dengan lembaga antirasuah sebenarnya ia anggap sebagai tindak pidana.
“Pasal 36 dan 37 itu ranah etik untuk menjaga integritas insan KPK dan semangat KPK. Jadi, sebelum ke pengadilan, sebaiknya dilihat dulu apakah ada pelanggaran kode etik,” kata Alex.
Alex mengatakan, permintaan uji materiil juga disampaikan kepada para pemimpin saat ini dan masa depan. Termasuk insan KPK secara keseluruhan.
“Tidak boleh ada keraguan sedikitpun dalam menafsirkan pasal-pasal undang-undang oleh etika dan penegak hukum. Selain itu juga harus ada perlakuan yang setara antar penegak hukum, ujarnya.
Oleh karena itu, Alex menilai perlakuan yang diterima insan KPK sebenarnya berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya.
Larangan bertemu/berkomunikasi dengan pihak yang berperkara hanya berlaku bagi insan KPK, namun aparat penegak hukum lainnya tidak mempermasalahkan jika pimpinannya bertemu dengan pihak yang berperkara. Ini tidak adil dan diskriminatif, ujarnya.
Selain itu, dia sepakat jika pertemuan atau komunikasi dengan pihak yang berperkara dapat menimbulkan konflik kepentingan, maka diperlukan sanksi etik atau pidana.
Apalagi jika hubungan atau komunikasi yang dilakukan para pihak mempunyai manfaat atau manfaat, kata Alex.
Terkait penerapan norma Pasal 36 huruf a UU KPK yang dinilai belum memiliki kepastian hukum, dalam gugatannya ia meminta Mahkamah Konstitusi mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi.
Atau menafsirkan Pasal 36 sebagai 'Pasal 36: Pimpinan KPK dilarang: (a) berhubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau kuasanya dengan maksud untuk meringankannya',” kata Alex.
NewsRoom.id