Sebuah penelitian terhadap tikus bernyanyi Alston menunjukkan bahwa otak dapat menyesuaikan persepsi kita terhadap waktu, sebuah temuan yang memiliki implikasi signifikan untuk memahami fungsi otak yang kompleks dan potensi penerapannya dalam teknologi dan pendidikan.
Hidup memiliki tempo yang menantang. Terkadang, ia bergerak lebih cepat atau lebih lambat dari yang kita inginkan. Meski begitu, kami beradaptasi. Kami mengambil ritme percakapan. Kami mengikuti kerumunan orang yang berjalan di trotoar kota.
“Ada banyak kejadian di mana kami harus melakukan tindakan yang sama tetapi dengan tempo yang berbeda. Jadi pertanyaannya adalah, bagaimana otak melakukannya,” kata Asisten Laboratorium Cold Spring Harbor, Profesor Arkarup Banerjee.
Mengungkap Mekanisme Otak
Kini, Banerjee dan kolaboratornya telah menemukan petunjuk baru yang menunjukkan bahwa otak mengubah waktu agar sesuai dengan kebutuhan kita. Dan ini sebagian disebabkan oleh makhluk berisik dari Kosta Rika yang disebut tikus bernyanyi Alston.
Trah khusus ini dikenal karena vokalisasinya yang dapat didengar manusia, yang berlangsung selama beberapa detik. Seekor tikus akan menjerit kerinduan, dan tikus yang lain akan membalasnya dengan nadanya sendiri. Khususnya, lagu-lagu tersebut memiliki panjang dan kecepatan yang bervariasi. Banerjee dan timnya berusaha menentukan bagaimana sirkuit saraf di otak tikus mengatur tempo lagu mereka.
Para peneliti berpura-pura berduet dengan tikus sambil menganalisis wilayah otak mereka yang disebut orofacial motor cortex (OMC). Mereka mencatat aktivitas saraf selama beberapa minggu. Mereka kemudian mencari perbedaan antara lagu-lagu yang durasi dan temponya berbeda.
Mereka menemukan bahwa neuron OMC terlibat dalam proses yang disebut penskalaan temporal. “Alih-alih mengkodekan waktu absolut seperti jam, neuron melacak sesuatu seperti waktu relatif,” jelas Banerjee. “Mereka justru memperlambat atau mempercepat interval. Jadi, ini bukan satu atau dua detik, tapi 10%, 20%.”
Implikasi dan Penemuan yang Lebih Luas
Penemuan ini menawarkan wawasan baru tentang bagaimana otak menghasilkan komunikasi vokal. Namun Banerjee menduga dampaknya lebih dari sekedar bahasa atau musik. Hal ini mungkin membantu menjelaskan bagaimana waktu dihitung di bagian lain otak, sehingga memungkinkan kita menyesuaikan berbagai perilaku. Dan ini mungkin memberi tahu kita lebih banyak tentang cara kerja otak kita yang sangat kompleks.
“Daging seberat tiga pon inilah yang memungkinkan Anda melakukan segalanya mulai dari membaca buku hingga mengirim manusia ke bulan,” kata Banerjee. “Ini memberi kami fleksibilitas. Kita bisa berubah dengan cepat. Kami beradaptasi. Kami belajar. Jika semuanya bersifat stimulus-respons, tanpa kesempatan untuk belajar, tanpa perubahan, tanpa tujuan jangka panjang, kita tidak memerlukan otak. Kami percaya korteks ada untuk menambah fleksibilitas pada perilaku.”
Dengan kata lain, ini membantu menjadikan kita siapa diri kita sebenarnya. Penemuan Banerjee mungkin membawa ilmu pengetahuan lebih dekat untuk memahami bagaimana otak kita memungkinkan kita berinteraksi dengan dunia. Implikasi yang mungkin terjadi terhadap teknologi, pendidikan, dan terapi tidak terbatas seperti yang kita bayangkan.
Referensi: 30 Januari 2024, Ilmu Saraf Alam.
DOI: 10.1038/s41593-023-01556-5
NewsRoom.id