Oleh: Hari Perdamaian Lubis
Pemerhati KUHP (Kebijakan Hukum dan Politik Umum)
Informasi Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Presiden Prabowo Subianto mendapat undangan menghadiri Kongres III Pro Jokowi (Projo), organisasi pendukung Joko Widodo, pada 1 dan 2 November 2025.
Terkait “PROJO”, masyarakat umum mengetahui bahwa Projo merupakan akronim dari nama kelompok Pro Jokowi atau Pro Presiden Jokowi. Istilah ini sering digunakan untuk menyebut kelompok masyarakat yang mendukung kebijakan dan program pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dan tentunya bersifat sementara, yaitu untuk keperluan menarik konstituen jelang pemilu presiden (Pemilu Pilpres) atau kelompok pendukung calon presiden dan wakil presiden. Atau setidaknya mendukung kebijakan presiden yang dirasa positif atau bermanfaat secara umum bagi kehidupan sosial berbangsa dan bernegara.
Namun untuk saat ini keberadaan Projo dilihat dari makna singkatan Projo, dan apakah makna substantif tersebut diterjemahkan ke dalam kondisi kekinian? Jokowi saat ini hanya berstatus negarawan yang menjabat sebagai dewan penasihat PT. Danantara? Dan menurut konstitusi, mantan Presiden RI yang telah menjabat dua kali berturut-turut (2 periode) tidak dapat lagi mencalonkan diri sebagai Presiden RI.
Kalau terminologi kata Pro atau pendukung tentu akan membuka ruang pandang masyarakat, adakah yang kontra? Jadi pertanyaan logisnya adalah, pro dan kontra untuk kelompok yang mana? Padahal semua bangsa ini bersaudara?
Kalaupun terjadi perbedaan pendapat antar warga atau antar kelompok tertentu, tentu dapat difasilitasi melalui dialog atau diskusi yang elegan sebagai bentuk penyelesaian perbedaan pendapat.
Kalaupun ada peristiwa hukum yang dianggap mengejek atau mempermalukan Jokowi, tentu upayanya bisa dilakukan melalui ranah hukum melalui kepolisian (Polri) sesuai dengan makna konstitusi, bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Jadi tentu tidak pantas Presiden RI menghadiri acara Projo tersebut. Jika Prabowo hadir, tentu kehadirannya akan menimbulkan asumsi masyarakat dari sudut pandang sosial politik, yaitu “Presiden RI telah melegitimasi kelompok primordialisme yang memuja tokoh (tokoh sipil?)
Kalau Projo disahkan dengan kehadiran Presiden RI. Tidak menutup kemungkinan akan ada preseden menjamurnya kelompok pendukung fanatik terhadap sosok individu.
Idealnya, Jokowi yang merupakan negarawan sekaligus mantan presiden memahami bahwa model primordial seperti Projo harus dibubarkan setelah lengser sebagai presiden dua periode. Dan menurut fiksi hukum, Jokowi yang merupakan mantan Presiden RI dianggap mengetahui (memahami perbedaan Ormas sebagai bentuk kebebasan berkumpul dan bertujuan untuk kepentingan masyarakat berdasarkan UUD 1945 dan undang-undang turunannya. Soal ormas, dengan kelompok yang hanya bertumpu pada simpati dan pemujaan terhadap tokoh pribadi, dengan kata lain tidak mempunyai asas legalitas.
Apalagi isu-isu primordial tidak mendidik karena bisa berdampak menimbulkan perpecahan dalam persatuan bangsa.
Sehingga para pengamat menilai, Prabowo Subianto yang merupakan sosok cerdas mengetahui fungsi Presiden RI, antara lain menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, sehingga tentu saja ia tidak akan menghadiri Kongres III Projo pada 1 dan 2 November 2025. Padahal, secara resmi, Prabowo sudah mendapat undangan.
Ref.
NewsRoom.id

 
					





 
						 
						 
						 
						 
						

