Jakarta, Newsroom.id – Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengidentifikasi berbagai titik kritis yang harus dibenahi dalam tata kelola industri tambang dalam pengawasan selama 2023.
Selain temuan titik kritis tersebut, BPKP juga mengawal hak negara senilai Rp31 triliun yang terancam hilang karena lemahnya tata kelola industri timah, nikel, bauksit dan batubara di Indonesia.
Deputi Bidang Investigasi BPKP Agustina Arumsari mengatakan, mencontohkan sengkarut tata kelola tambang yang lemah dalam bentuk saat mengajukan izin yang terdapat dana reklamasi didalamnya belum dikelola dengan baik oleh pihak yang mengeluarkan izin.
“Mestinya reklamasi kan bertahap ya, dikasi IUP segini, nanti sini dikerjain, sini reklamasi dulu baru dia pindah, harusya gitu, nah ini enggak,” kata Agustina usai konferensi pers di Kantor BPKP, Kamis (1/2/2024).
BPKP juga menyoroti adanya tumpang tindih izin yang diperoleh oleh perusahaan tambang terhadap kawasan lainnya, hal ini membuat tata kelola tambang yang perlu diperbaiki lagi kedepan.
“Misal ada izin yang masuk kawasan hutan, kami temukan seperti itu kan sebenernya tidak boeh, ya ini memang jadi PR untuk perbaikan tata kelola,” jelas Agustina.
Agustina juga membeberkan berberapa lokasi yang memiliki permasalahan di tata kelola pertambangan.
“Yang itu tuh daerah nikel, lalu timah di Bangka Belitung. Tidak semua sih, pokoknya hanya komoditas tertentu, misal nikel di Sulawesi Utara, saya tidak hafal nama-nama tempatnya dimana, tapi komoditinya itu nikel sama timah,” jelasnya.
Potensi kehilangan hak negara senilai Rp31 triliun yang dikawal BPKP ini merupakan nilai kumulatif yang didapati temuan pada tahun 2023.
“Angka bisa kumulatif, jadi sepanjang mengelola izin dari tahun sekian sampai sekian. Bukan 2023 saja, tapi auditnya tahun 2023,” ujarnya.