– Sejarah Jawa tidak hanya ditandai dengan kesuksesan raja dan ratu, tetapi juga kisah tragis di balik tembok keraton.
Salah satunya adalah kisah Ratu Sekar Kedaton, seorang bangsawan keraton Yogyakarta yang harus mengalami nasib pahit saat diasingkan ke Manado bersama putranya.
“Kenapa begitu? Alkisah pada tahun 1883 Sekar Kedaton diasingkan ke Manado bukan karena bersalah tapi karena darah dalam rahimnya terlalu sah untuk takhta putranya,” kata seorang YouTuber dikutip Hops.ID dari YouTube Short @mamunindonesia yang tayang pada 10 Juni 2025.
Dia bukan sembarang wanita — Ratu Sekar Kedaton adalah salah satu istri Sultan Hamengkubuwana V, penguasa Kesultanan Yogyakarta pada abad ke-19.
“Iya namanya Kanjeng Ratu Sekar Kedaton. Beliau istri sah Sultan Hamengkubuwono V,” ujarnya.
Menurut catatan sejarah, pengasingan ini terjadi sepeninggal Sultan Hamengkubuwana V. Sepeninggal Sultan, terjadi konflik internal di dalam keraton mengenai siapa yang berhak naik takhta.
Penguasa kolonial Belanda yang saat itu mempunyai pengaruh besar dalam politik keraton ikut campur dalam proses penentuan penerus raja.
Ratu Sekar Kedaton yang terkenal cerdas, tegas dan berwibawa menolak keputusan pengangkatan Sultan Hamengkubuwana VII sebagai penerus takhta.
Ia yakin putranya, Pangeran Timur Muhammad, adalah pewaris sah takhta ayahnya.
Konon putranya, Pangeran Suryangalaga (Pangeran Timur Muhammad) adalah putra mahkota yang sebenarnya. Ia lahir dari ratu yang sah, berdarah biru murni, katanya.
Namun penolakan tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan kepentingan Belanda di Yogyakarta.
Atas tekanan pemerintah kolonial, Ratu Sekar Kedaton dan putranya akhirnya diasingkan secara diam-diam ke Manado.
Pengasingan ini bukan sekedar bentuk hukuman, melainkan cara halus untuk menghilangkan pengaruh politik dari pusat kekuasaan.
“Selama di pengasingan, Ratu Sekar tinggal di Desa Pondol, wilayah yang kini termasuk Kecamatan Rikek, Kecamatan Wenang, jauh dari keraton,” ujarnya.
Di negeri pengasingan yang jauh dari keraton, Ratu Sekar Kedaton hidup dalam kesendirian dan keterasingan, namun tetap menjaga harkat dan martabatnya sebagai bangsawan Jawa.
Bersama putranya, Pangeran Timur Muhammad, ia hidup dalam suasana penuh keterbatasan, jauh dari lingkungan istana tempat ia harus belajar memimpin.
Kisah Ratu Sekar Kedaton tidak hanya menjadi bagian dari sejarah Kesultanan Yogyakarta, tetapi juga potret bagaimana perempuan Jawa di masa lalu memiliki peran dan suara yang kuat dalam politik dan perjuangan harkat dan martabat bangsanya.
Ia mungkin diasingkan dari istana, namun namanya tetap tercatat dalam catatan sejarah sebagai wanita tangguh yang membela hak dan kehormatan keluarganya hingga akhir hayatnya.
“Pangeran Suryangalaga meninggal terlebih dahulu di pengasingan. Ia lahir dari garis keturunan raja namun meninggal tanpa gelar. Dan Permaisuri menyusul kepergian putranya pada tahun 1918 di negeri yang tidak pernah mengenal upacara keraton. Mereka berdua pergi tanpa gelar, tanpa mahkota,” tutupnya.***
NewsRoom.id









