NEWSROOM.ID, Jakarta – Benih-benih revolusi industri digital Korsel dapat ditemukan pada runtuhnya industri buku komik fisik di akhir tahun 90-an.
Krisis keuangan Asia 1997 memberikan pukulan telak bagi sektor ini karena penjualan anjlok di tengah pengangguran massal. Beberapa penerbit tetap menjual manga Jepang untuk tetap bertahan, sementara yang lain terpaksa ditutup.
“Setelah kami runtuh sekaligus, kami sibuk mencari jalan keluar,” kata Lee Jae-sik, mengatakan kepada Al Jazeera.
Bagi banyak tokoh industri, termasuk Lee, booming dot-com di akhir 1990-an tampaknya menjadi peluang emas. Namun, tidak mudah bagi industri yang goyah untuk berdiri sendiri ketika negara belum sepenuhnya pulih dari krisis ekonomi.
Terobosan besar datang ketika mesin pencari yang sedang berkembang, terutama Daum atau Google-nya Korsel, mulai mencari cara baru untuk membuat pengguna tetap datang ke situs mereka.
Dimulai pada awal 2000-an, portal Internet Korsel pun mulai menawarkan buku komik digital dan komik asli yang dibuat untuk web secara gratis.
Kini sebagian besar pengguna internet membaca komik di smartphone mereka, hingga akhirnya webtoon mengadopsi gaya scroll-to-read vertikal yang khas.
“Tindakan menggulir untuk membaca memberikan semacam perasaan gerakan, seperti gerakan pandangan atau aliran waktu,” kata Seo Bum-gang, kepala Asosiasi Industri Webtoon Korea.
“Bagi mereka yang bekerja di film, itu sangat mirip dengan storyboard yang digunakan di industri mereka. Ketika penonton membaca webtoon, mereka dapat dengan mudah mengasosiasikannya dengan film.”
Sejak akhir 2000-an, industri film dan TV Korea Selatan sibuk mengadaptasi webtoon. Sejak kesuksesan serial drama kantor Misaeng pada tahun 2014, webtoon telah menjadi sumber inspirasi utama bagi dunia hiburan Korea.
Netflix salah satu produsen yang sangat antusias mengadaptasi media tersebut. Menyusul kesuksesan internasional Kingdom, Sweet Home, dan Hellbound, perusahaan hiburan tersebut berencana merilis lima seri berbasis webtoon tahun ini. (ALP)