Jakarta, Newsroom.id – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif buka suara terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai 2022 yang sedang berlangsung di Kejaksaan Agung (Kejagung).
Menurut Arifin, perkara tersebut merupakan kasus perusahaan. Namun, pihaknya juga ikut mendalaminya sebagai yang mengeluarkan izin pertambangan.
“Itu korporasi ya. Kalau kita kan hanya berkait dengan perizinan pertambangan, cuman kita perlu lebih dalam lagi. Perlu kerja sama antar instansi untuk bisa menangani, karena kita juga harus, kita butuh sama-sama,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (5/4/2024).
Untuk mengantisipasi hal tersebut terulang kembali, Kementerian ESDM terus memperkuat Sistem Informasi Mineral dan Batubara (SIMBARA) yang sudah memasukan komoditas batubara, serta komoditas nikel, timah dan lain-lain kedepannya.
Aplikasi SIMBARA yang dibangun melalui integrasi yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, dan Bank Indonesia, merupakan aplikasi pengawasan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan tata niaga Mineral dan Batubara (Minerba). Aplikasi ini juga merupakan rangkaian proses tata kelola Minerba dari hulu ke hilir, termasuk juga pemenuhan kewajiban pembayaran dan proses clearance di pelabuhan.
SIMBARA merupakan bentuk sinergi dari K/L untuk tata kelola minerba yang lebih baik. Di dalamnya terdapat ekosistem pengawasan terintegrasi bagi seluruh aplikasi pengelolaan dan pengawasan serta menjadi muara data minerba. SIMBARA mengintegrasikan proses mulai dari single identity dari wajib pajak dan wajib bayar, proses perizinan tambang, rencana penjualan, verifikasi penjualan, pembayaran PNBP, serta ekspor dan pengangkutan atau pengapalan, dan devisa hasil ekspor.
“Ya, (SIMBARA) itu memang kita haruskan, baru batu bara. Karena baru mau masuk nikel, dan segera kita masukin lagi yang lain-lain, mineral yang lain. Sehingga material itu, mineral itu barangnya itu ketahuan dari mana asalnya,” jelas Arifin.
“Sejak (kebijakan) dari daerah ke pusat ini kan tuh yang banyak yang harus dibenahin data-datanya. Itu harus kita sempurnakan, sehingga ke depannya betul-betul governance-nya,” tambahnya.
Adapun, dari perkiraan kerugian lingkungan yang dihitung Kejagung mencapai Rp271 triliun, Kementerian ESDM sebagai pemberi izin tidak ikut melakukan perhitungan nilai kerugian yang terjadi.
“Kita tidak mau ada hitungan macam-macam, kan yang berhak dan wajib menghitung siapa? BPK,” ujar Arifin.
Selain itu, Kementerian ESDM juga belum dapat melakukan langkah hukum melalui Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) yang akan dibentuk.
“Itu kan belum bisa, belum terbentuk gakumnya,” katanya.