NEWSROOM.ID, Jakarta – Pemerintah berencana akan melakukan pemberhentian ekspor timah pada awal tahun 2023. Dibalik larangan ekspor ini terdapat banyak kendala yang belum terselesaikan, mulai dari hilirisasi yang belum siap, cadangan timah yang menipis, dan nasib penambang timah yang akan terhenti juga.
Praktisi Tambang Teddy Marbinanda mengkritisi sikap pemerintah yang memperjuangkan kenaikan royalti timah dari 3 persen ke 5 persen oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Ngapain bahas royalti mau naik, kalo ujung-ujungnya gak bisa ekspor,” kata Teddy pada Senin, 12 September 2022 melalui keterangan tertulisnya.
Nilai hilirisasi timah di Indonesia tidak lebih dari 5 persen, pemerintah mulai mendorong perusahaan untuk memfokuskan hilirisasi produk timah sehingga dapat memiliki nilai lebih. Teddy menilai kebijakan tersebut tidak mungkin terjadi.
“Industri hilir apa yang mau dibuat dalam waktu setahun atau dua tahun untuk pengolahan lanjut berbahan baku timah,” katanya.
Pada 2021, royalti timah mencapai Rp 1,17 triliun rupiah, PT Timah sendiri menyumbang sebanyak 35 persen atau Rp 395,8 miliar. Menurut Teddy ekonomi akan sangat terhambat jika pemberhentian ekspor timah ini diberlakukan.
“Daerah ini PAD (Pendapatan Asli Daerah) andalannya masih terikat dengan sektor pertimahan. Bisa stop pembangunan di provinsi (Bangka Belitung) ini kalau ekspor dihentikan,” jelasnya.
Dirinya tegas menolak larangan ekspor timah, namun dirinya sepakat apabila dilakukan evaluasi lebih lanjut terkait tata niaga logam timah di Indonesia ini, sebab masih terkait pengoptimalan pendapatan negara dari mineral timah.
“Sepakat untuk di evaluasi lebih lanjut, kan muara nya msih terkait pengoptimalan pendapatan negara dari mineral timah. Jangan dipukul rata kebijakan yg diambil, hampir 50% produksi timah dunia berasal dari Indonesia, bisa gawat kalau reaksi pasar terjadi,” jelas Teddy. (LBY)