NewsRoom.id – Pengamat politik sekaligus peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mengatakan materi gugatan kubu 01 dan 03 ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah mendiskualifikasi nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan meminta pemungutan suara ulang. kemauan rakyat.
Menurut dia, gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mempertimbangkan aspek psikologis dan bertentangan dengan logika mayoritas masyarakat yang telah menentukan pilihannya pada Pilpres 2024.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
“Memang kalau dilihat dari prosesnya terlalu berlebihan, karena prosesnya dilakukan secara bersama-sama, tapi tuntutan seperti itu tetap harus dihormati. Pendapat saya berlebihan, perlu juga mempertimbangkan psikologi masyarakat, karena pemahaman masyarakat. psikologi merupakan bagian dari hakikat pemahaman hukum dan harus lebih cermat dan wajar dengan memperhatikan psikologi masyarakat,” kata Surokim, Rabu (3/4).
Surokim menambahkan aspek psikologis masyarakat atau spiritualitas masyarakat, yaitu baik pada masa kampanye maupun setelah pemilu, masyarakat ingin kehidupan tetap berjalan damai, tanpa keributan dan tetap harmonis.
Dia mengatakan, tuntutan mereka tidak sejalan dengan keinginan besar masyarakat.
“Situasi spiritual masyarakat Indonesia saat ini berarti menginginkan kedamaian, tanpa gejolak situasi yang sejuk, jadi menurut saya kalau mau bijak, cukup bijak dengan memperhatikan situasi spiritual masyarakat Indonesia, itu penting,” dia menjelaskan.
Selain itu, Surokim menyebut gugatan 01 dan 03 juga dinilai bertentangan dengan logika mayoritas masyarakat.
Sebab, Surokim meyakini putusan akhir MK, selain berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan, juga akan mempertimbangkan suasana spiritual masyarakat dan logika masyarakat.
“Saya kira pemahaman seperti itu akan kontraproduktif atau bertentangan dengan logika masyarakat, karena termasuk Mahkamah Konstitusi juga akan mempertimbangkan kondisi spiritual masyarakat,” ujarnya.
Surokim mengatakan rumusan tuntutan harus komprehensif, tidak hanya berdasarkan pasal, tetapi juga harus memahami konteks berdasarkan keinginan masyarakat.
Bagi Surokim, tidak bijaksana memaksakan kehendak pada kekuasaan namun tidak mendapat dukungan masyarakat.
“Jadi saya lebih fokus melihat situasi agar saya memperhatikan tuntutan memperhatikan situasi spiritual masyarakat Indonesia. Situasi spiritual itulah yang menjadi kekuatannya, bukan sekedar penafsiran pasal dan sebagainya. karena konteksnya juga teksnya,” ujarnya.
Terlepas dari bukti-bukti yang dihadirkan 01 dan 03 dalam persidangan atas tuduhan pelanggaran terstruktur, sistematik, dan masif (TSM), Surokim menilai Mahkamah Konstitusi sulit mengabulkan permohonannya.
Agak sulit untuk membuktikan TSM, menurut saya bukti-bukti yang dihadirkan di pengadilan agak sulit diterima TSM, itu sulit, jelasnya.
Meski demikian, Surokim meyakini MK akan memberikan putusan terbaik bagi semua pihak, termasuk pemohon, tergugat, dan pihak terkait guna meningkatkan demokrasi di masa depan.
“MK pasti akan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang dan pasti mempunyai misi untuk meminimalisir pemilu ini agar bersih dan bebas dari pelanggaran.
“Jadi perasaan saya, MK juga ingin tampil progresif dalam putusannya, namun tetap harus mempertimbangkan situasi spiritual masyarakat yang berkembang saat ini,” jelasnya.
Sementara itu, Surokim juga menilai MK berpeluang besar menolak gugatan tersebut, selain lemahnya aspek teknis pembuktian, psikologi masyarakat juga menginginkan hal tersebut.
“Jadi kalau kita tanya dikabulkan atau tidak, saya kira keputusan MK itu hanya imajinasi saya saja, jadi saya tetap mempertimbangkan bagaimana meminimalisir pelanggaran serupa di kemudian hari, namun tetap memperhatikan sisi spiritualnya. masyarakat.”Jadi ya, 60 sampai 40,” kata Surokim.
NewsRoom.id